“Gila ya kamu, bisa-bisanya bilang begitu, setelah apa yang kau lakukan padaku!” aku sedikit meluapkan amarahku kepada Lena, “Seharusnya kau bilang kalau itu kencan, jadi kan aku bisa…”
“Bisa nolak ?”
“Ya iyalah! Tapi kan aku juga gak ada persiapan kemarin.”
“Wow… kau merasa perlu persiapan? Berarti ada sesuatu sama August.” Aku sedikit tertawa ketika mendengar namanya dari Lena yang berusaha untuk menyebutkan dengan benar.
“Agus maksudmu? Kenapa harus susah-susah nyebutin namanya, kayak orang kaya aja pakai ejaan inggris.” Aku masih tersenyum ketika mengingat bagaimana Agus memperkenalkan dirinya saat di depan restoran, “Aku sendiri sudah memutuskan untuk memanggilnya Agus.”
“Dia itu memang orang kaya, mantan lebih tepatnya.” Wajah Lena mulai menjadi serius dan aku menghentikan tawaku,”Dia dulu adalah anak dari seorang pemilik perusahaan ritel, namun semuanya berubah saat krisis moneter menerpa dan terjadi kebangkrutan. Mungkin jika perusahaan Bapaknya masih berdiri sampai sekarang maka bisa menyangi perusahan Ojek online itu!”
“Oh gitu … pantesan ada sedikit aura berbeda darinya dan apalagi saat ia makan steak kemarin! Sekarang ia kerja apa?” aku ingin memastikan ingatanku.
“PNS di kantor Dinas Kependudukan.” Ternyata memang benar seperti apa yang aku kira, Agus adalah PNS yang aku temui saat pembuatan KTP baruku.
“Berarti bener dia pernah ketemu aku.”
Siapa … August? Di mana dan kapan? Cepet kasih tahu aku!” Lena sedikit terperangah dan antusias setelah tahu kalau aku pernah bertemu dengan Agus.
“Itu waktu kemarin aku kehilangan KTP kan harus buat baru, nah pas di Dinas kependudukan aku ketemu dia. Tapi kok beda banget ya sama yang kemarin, jadi pendiam dan tak seperti saat dia kerja!”
“Bukankah semua orang begitu, semua akan berubah ketika dibayar atau ada maunya.” Menurutku itu masuk akal dan benar adanya. Jadi bisa dibilang sifat asli Agus adalah saat bertemu denganku kemarin di restoran; pendiam, tak perduli tatapan orang lain, bersih, pelit dan tentunya ada aura aneh yang mengitarinya.
Rasa penasaran membuatku meminta Lena untuk menceritakan lebih banyak tentang Agus, seperti bagaimana dia menjalani harinya dan bahkan keluarganya saat ini. Berat dan kesepian adalah dua kata yang mampu menggambarkan kehidupan Agus, dia harus berjuang menghidupi ibunya yang jatuh sakit karena ayahnya sendiri sudah meninggal sejak ia SMA.
“Kau akan bertemu dengan dia lagi kan? Hutang kan harus dibayar lunas, kalau gak dosa!” tawa Lena sangat membuatku kesal dan dia tak berusaha menahannya sama sekali. Di sisi lain alasan hutang memang membuatku harus bertemu dengan Agus lagi, tapi aku berharap itu tak ada bunganya.
“Kau ini yang menyebabkan semuanya dan bisa-bisanya kau tertawa seperti itu?” berpikir akan bertemu dengan orang aneh seperti Agus sedikit membuatku khawatir, namun di dalam diriku sedikit ada ketertarikan dengan sisi tak terlihat dari Agus setelah mendengar tentangnya dari Lena.
***
Dua sejoli muda-mudi terlihat berlalu-lalang melewati aku yang duduk di sebuah Café dalam Mall, aku menunggu Agus untuk membayar sisa hutangku yang berjumlah tujuh puluh ribu. Malam minggu menjadi waktu kita untuk bertemu dan itu menjadi kali pertamaku bertemu pria di akhir pekan setelah hubunganku dengan Arto berakhir. Rasa gugup yang aku rasakan saat itu seperti saat aku menunggu nilai raporku di waktu sekolah, keinginan tinggi untuk mendapatkan hasil baik beriringan dengan rasa kekhawatiran akan nilai yang jelek. Dia adalah orang asing dan itu aku tanamkan ke kepalaku agar tak ada rasa berlebihan terhadap rayuan yang mungkin akan dilakukan oleh Agus.