“Sya ?“ Ibu menyaut dari dalam dan membukakan pintu, kerinduan jelas terpancar dari sorot matanya. Sementara itu Bapak terlihat duduk di ruang tamu seperti yang ia lakukan sebelum-sebelumnya.
“Pulang kamu!” dengan wajah yang masih terlihat judes, Bapak menyapaku dengan setengah hati. Rasah lelah membuatku tak ingin menghiraukannya dan langsung pergi ke kamar.
“Kamu gak makan dulu?”
“Nanti aja Bu, aku lelah mau istirahat dulu.”
Di dalam kamar dengan terlentang di kasur aku kepikiran bagaimana orang tuaku akan mencoba menjodohkanku lagi, setidaknya aku harus bersiap dengan kemungkinan terburuk. Aku tahu menikah adalah salah satu ibadah, namun jika itu berubah menjadi terpaksa ketika menjalaninya maka bisa-bisa dosa yang mengitarinya.
Waktu sarapan tiba dan ibu mengetuk pintuku untuk keluar dari kamar, “Ayo makan Sya! Kamu gak berangkat kerja?” aku keluar setelah selesai berdandan, suasana di meja makan pastinya sangat aneh dan penuh ketegangan karena ada dua kubu berlawanan saling bertemu. Berjalan menuju meja makan aku sudah melihat wajah tak bersahabat dari Bapak, menghindari tatapannya adalah pilihan terbaik yang bisa aku lakukan.
“Makan yang banyak!” Bapak berusaha untuk membuka keran obrolan, “Gak kepagian, masuk kerjanya?” ingin membalas perkataannya tersebut, tapi aku masih berusaha berhati-hati.
“Enggak, takut macet di jalan.”
“Udah-udah ayo sarapan.” Ibu menuangkan nasi ke dalam piringku, “Makan yang banyak biar kerjanya maksimal!” aku mengangkat sendokku dan kami bertiga mulai makan, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami lagi karena semuanya fokus ke piring masing-masing.
Hari-hari berikutnya semuanya masih tak ada perubahan signifikan, aku masih berusaha untuk membatasi obrolanku dengan kedua orang tuaku. Perasaan takut jika salah bicara dan rasa tak ingin mendengar kata-kata yang tak ingin didengar masih membekas, terkadang hanya berbicara di meja makan dan saling menyapa satu sama lain kulakukan hingga beberapa hari berikutnya.
***
Dua minggu lebih berlalu dan aku masih menghindari telpon dari Lena, rasa kesal yang masih tersisa sepucuk daun masih membuatku enggan untuk menggangkat telpon darinya. Aku sendiri sudah berusaha untuk mengerti tindakan yang ia lakukan, tentunya aku juga berusaha untuk memaafkan walau memang ada sedikit noda di hati. Ternyata niat baik yang cenderung membuatku kesal itu tak hanya sampai di situ, karena Lena kembali melakukan hal lain tanpa persetujuanku dan itu membuatku pusing tujuh keliling.
“Selamat siang Apakah ini rumah Arsyana?” di hari minggu pagi seorang pria dengan suara serak mengetuk pintu depan rumahku dan bertanya mengenai diriku, sementara itu aku yang berada di dalam kamar tak sengaja mendengar hal tersebut dan karena rasa penasaran aku berusaha untuk melihat dari jendela.
“Sya ada yang nyari!” Dengan suara antusias Ibu mengetuk pintu kamarku berkali-kali.
“Iya … iya … siapa memangnya?” aku berusaha memasang wajah tak perduli saat membuka pintu.
“Gak tahu coba kamu lihat sendiri … omong-omong dari mana kau kenal dia, cakep banget Sya!” Ibuku tersenyum seakan belum pernah tersenyum, ekspresinya benar-benar belum pernah kulihat. Berjalan dengan sikap biasa untuk memeriksa orang tersebut, aku dibuat kaget saat melihat wajahnya.
“Terima kasih Pak.” Aku mendengar obrolan yang santai dengan Bapak saat berjalan menuju ruang tamu.
“Lha … ngapain ke sini?” Agus berdiri menyambutku dengan senyumannya, meskipun baru dua kali bertemu aku tak mengira bahwa ia memiliki senyum se indah itu.
“Duduk … silahkan duduk nak!” Bapak berusaha ramah kepadanya, dari nada bicaranya terdengar sangat halus seperti suara air mengalir.