“Aku ingin kau membuatku jatuh cinta padamu, maka aku akan melakukannya denganmu!” mulutku terasa aneh saat ia berbicara mengenai hati, seandainya aku bisa melakukannya sedari dulu mungkin saja aku tak akan berakhir dengan Agus. Aku berhenti termenung sejenak memikirkan persyaratannya tersebut, sebenarnya tak ada ruginya juga untuk karena aku pun belum mau melakukan ‘itu’ dengannya.
“Baiklah, tapi kau juga hari menuruti satu persyaratanku!”
“Tentu, itu sangat fair sekali … aku akan menuruti satu syarat darimu.” Dia menyanggupi permintaanku, “Tentunya asalkan itu tak bertentangan dengan syaratku tadi!”
“Kau harus menjadi suami yang baik, entah itu di depan keluargaku ataupun orang yang aku kenal.” Setelah teringat kejadian yang menimpa Lena, aku tak ingin itu Menimpaku dan karena tujuan pernikahan adalah untuk bersama selamanya maka aku membuat persyaratan itu. Entah kapan cinta akan datang kepada kami berdua, setidaknya aku ingin orang-orang melihat kasih sayang dan cinta dari mata mereka meskipun itu hanya sekadar sandiwara panggung agar orang-orang yang aku sayangi di sekelilingku tak khawatir dengan kehidupanku.
“Baiklah, bukan hal yang mudah untuk dilakukan.“Kami berdua setuju dengan permintaan masing-masing, “Biar enak mari salaman?” bersalaman sebagai tanda bahwa kami berdua setuju dan aku menggambarkan senyum palsu di wajahku untuknya.
“Ngomong-ngomong soal fair, karena kau sudah tahu alasan kenapa aku menerimamu, bukankah baru adil jika kau memberitahukan alasanmu kenapa kau sampai berbuat sejauh ini?” dia termenung memandang keluar sawah yang ada di luar rumah makan, “Bagaimana? Kau mau melakukannya untukku kan?” meskipun aku yakin ia akan memberitahuku suatu hari, tapi jika ada kesempatan untuk bertanya lebih cepat kenapa tidak.
“Baiklah … kamis di minggu ini aku ingin kau izin setengah hari, aku akan membawamu ke suatu tempat.” Aku sangat bersyukur ketika mendengarnya menjawab pertanyaanku, namun di sisi lain ekspresi wajahnya saat itu benar-benar berubah.
***
“Dimana ini?” aku melihat sekumpulan orang tua mengikuti sesi kesehatan bersama para relawan, senyuman menghiasi wajah penuh garis perjuangan yang terukir dan ekspresi mereka seperti baru saja merengkuh kebahagiaan yang telah lama hilang dari hidup mereka.
“Perkenalakan Arsyana Kenes … calon mantu Ibu, dan Arsya … perkenalkan ini Ibuku, Ratmi.” Agus menunjukan sesok wanita yang tertidur terlentang di atas kasur, aku mendekat ke sisi ranjangnya dan meraih tangannya yang susah payah ia ulurkan kepadaku.
“Assallammualaikum, Bu saya Arsya, calonnya Mas Agus.”
“Wallaikumsallam, cantik sekali kamu!” dia memegang erat tanganku dan tak mau melepaskannya, aku hanya berusaha untuk menahannya selama mungkin dengan cara duduk di sampingnya agar ia tak kelelahan mengangkat kedua tangannya.
“Cantikan Bu? Siapa dulu yang cari!” Agus tersenyum lebar saat berbicara dengan ibunya, senyumannya berbeda dengan apa yang aku lihat selama ini. Garis lengkungan yang membentuk senyuman lebarnya benar-benar menggambarkan ketulusnya yang hakiki, aku yang merasakan ketulusannya pun ikut merespon dengan tertawa bahagia. Senyuman berbeda terpancar dari wajah Bu Ratmi, tanpa kata-kata itu sudah memancarkan bahwa ia merasa lega bahwa sudah ada orang yang mendampingi anaknya. “Kok malahan nangis … seharusnya seneng … anaknya mau punya istri cantik!” melihat interaksi anak dan ibu tersebut membuatku menahan air mata.
Obrolan yang singkat namun berkesan dengan Bu Ratmi, membuatku berbikir ulang tentang Agus. Sisi lain dari pria yang akan menjadi suamiku itu terlihat jelas dari perkataan Ibunya, kita tertawa bersama saat membicarakan sisi aneh dari Agus yang salah satunya adalah ketakutannya kepada buah Rambutan hingga pernah saat kecil ia dibuat menangis oleh temannya karena hal tesebut.
“Kau masih takut?” aku bertanya untuk mengejek Agus.
“Gak takut kok … tapi kalau disuruh makan juga gak mau aku!” menghadirkan tawa kecil kepada perempuan yang merawatnya dan melahirkannya adalah keharusan bagi Agus, tentunya menghadirkan permintaan darinya juga adalah wajib hukumnya.
***
Suara keras tangisan anak, gemericik suara minyak goreng, suara benda tumpul yang beradu satu sama lain dan suara percakapan orang banyak menandakan bahwa rumahku akan menggelar hajatan besar. Orang jawa terutama yang ada di desa sering saling bantu-membantu bahkan untuk acara hajatan, mereka akan bergantian ‘Rewang’ (membantu memasak di acara hajatan) saat ada orang yang mengelar acara besar seperti hajatan pernikahan. Tak lupa alunan gamelan menandakan acara utama akan dimulai, setelah 3 minggu persiapan dan 2 bulan sejak aku bertemu Agus akhirnya aku memakai sebuah gaun kebaya putih untuk duduk disampingnya.