Dia berbalik membelakangi diriku dan tak berusaha untuk melihat diriku, bisa dibilang dia sangat sopan dan terlalu berpegang kepada pendiriannya. Entah kenapa hal tersebut sedikit membuatku kesal, meskipun ia tak suka kepadaku seharusnya ia tak perlu bersikap seperti itu. Kesal yang aku derita lebih ke harga diri wanita yang seharusnya di hargai dan dikagumi oleh pria yang apalagi adalah suaminya sendiri.
“Kenapa kau mengatakan maaf kepadaku, memangnya kau berbuat salah kepadaku?”
“Ya bisa dibilang begitu … karena membuat dirimu tak nyaman karena harus berganti pakaian denganku di kamar yang sama tanpa persetejuanmu.” Dia sangat sopan sekali, bahkan ia mementingkan perasaan orang lain terlebih dahulu dari pada dirinya. Dia masih membelakangiku hingga aku selesai mengenakan baju, aku berusaha untuk mendekat kepadanya.
“Baiklah, aku mengerti! Namun sayangnya aku tak akan melakukan hal yang sama, kau bilang untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku, bukan? Jadi karena itu aku harus melihat barang yang akan aku sukai dahulu dari luar maupun dalam!” aku menggodanya dengan berbisik di samping telinganya dan dia terdengar menelan ludahnya sendiri.
“Baiklah, jika kau ingin seperti itu!” Agus dengan cepat berdiri dan melepas bajunya, kaget dan gugup membuatku mundur selangkah demi selangkah hinga sampai di depan pintu. Suara ramai dari luar entah kenapa menjadi sunyi senyap karena aku tak menghiraukannya dan fokus kepada tubuh Agus, aku sendiri mulai menelan ludahku dan ketika perutnya mulai terlihat membuatku berpaling dengan segera keluar dari kamar tersebut.
“Kenapa aku lari?” pertanyaan yang aku ajukan kepada diriku sendiri dan seharunya aku sudah tahu jawabannya, namun dalam hari aku berusaha untuk menyangkalnya.
***
Ketika malam tiba kami berdua sangat kelelahan, tapi masih harus menyambut beberapa tamu yang datang. Salah satunya adalah teman Agus yang bernama Ilmi dan yang membuatku ingat namanya karena reaksi yang ditunjukan oleh Agus, ia terlihat sangat akrab dengannya. Senyuman seruncing bulan sabit tergambar jelas di wajah Agus saat Ilmi sudah terlihat dari ke jauhan, pelukan yang sangat akrab terlihat jelas di mataku.
“Gimana kabarmu? Kenapa baru datang?” kebahagian Agus terpancar jelas, temannnya pun juga memancarkan hal yang sama. Mungkin jika mereka terlahir sebagai laki-laki dan wanita maka mereka yang akan menikah, sebegitunya aku menganggap kemesraan mereka sebagai teman dekat yang aku lihat malam itu.
“Maaf tadi ada kerjaan mendadak, alhamdulilah aku dapat pesanan banyak hari ini!” Ilmi adalah seorang pedagang ayam potong, ia memiliki satu kios pemotongan di pasar Gede kota Solo. Aku dengar dari Agus jika dia adalah seorang anak yatim piatu, ia adalah seorang pekerja keras dan pebisnis yang pintar.
Mendengar mereka mengobrol cukup lama membuat rasa kantukku tak tertahankan, aku pamit untuk bergi ke kamar duluan.“Mas aku istirahat dulu ya!”