Satu bulan lebih telah berlalu sejak pernikahanku bersamaan dengan akhir tahun juga semakin dekat, aku dan Agus masih menganggap semuanya berjalan lancar. Akhir pekan yang akan datang kami memutuskan pergi ke panti menengok Bu Ratmi. Tak ingin menjadi menantu jahat aku sebenarnya sudah pernah mengajaknya untuk tinggal bersama kami, tapi ia mengatakan kalau kondisinya bukan sesuatu yang bisa dirawat di rumah.
“Gimana kabar Ibu?” aku berusaha memegang tangannya yang terkulai lemas di atas kasur, kondisinya benar-benar memburuk dari terakhir kali kami bertemu seminggu yang lalu. Dokter yang menanganinya pun sudah meminta kita untuk mempersiapkan diri, faktor umur dan kesehatannya menjadi masalah utama yang mengalanginya untuk pulih kembali. Dia terkena stroke sudah lebih dari dua tahun, bukannya membaik justru itu semakin memburuk. Entah keajaiban atau kuasa dari yang Maha Kuasa, aku bertanya-tanya kenapa Bu Ratmi terlihat sangat baik sebelum pernikahanku dengan Agus.
Bu Ratmi hanya menjawabku dengan senyuman, sementara itu Agus hanya bisa melihatnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku meninggalkan mereka berdua untuk saling bercengkrama karena mungkin saja itu bisa menjadi pelipur lara untuk keduanya. Alasan lainnya adalah aku sendiri juga tak kuat untuk terus-terus melihat kondisi ibu mertuaku itu. Meskipun baru saja mengenalnya aku ingin dia lebih banyak bercerita kepadaku dan karena itu aku ingin dia bisa bangun dari tidurnya.
Malam mulai datang bersama hujan deras yang mengiringi dan aku terduduk termenung di depan kamar Bu Ratmi menunggu Agus keluar. Saat pertama kali datang ke panti itu aku takjub dengan kesan megah dan kokohnya bangunan yang digunakan sebagai pelindung. Suara pun sampai tak terdengar dari luar maupun yang di dalam juga tak bisa mendengar keramaian dari luar. Aku berpikir tentang alasan kenapa yayasan yang membangun panti tersebut mendesainnya sedemikian rupa, alasan utama yang terpikirkan olehku saat itu adalah kenyaman dan keamanan untuk para lansia.
Hujan semakin deras dan suasana di lorong-lorong panti nampak sepi karena tak ada orang sama sekali. Suara air hujan yang menghujam genting-genting membuatku tak bisa mendengar suara apa pun dan bahkan ketika aku mencoba berbicara, aku tak bisa mendengar suaraku sendiri sama sekali. Namun entah kenapa sebuah suara tangisan mendesak suara hujan lalu bisa sampai ke telingaku walaupun hanya terdengar lirih. Aku penasara siapa yang menangis waktu itu karena datangnya suara tak bisa ditentukan akibat tertumpuk suara hujan deras. Beberapa menit tak beranjak dari kursiku hingga hujan diluar mulai mereda dan saat itu aku baru sadar bahwa suara tangisan yang aku dengar berasal dari ruangan Bu Ratmi.
“Mas kenapa?” aku berusaha mengecek keadaan mereka dengan mencoba memanggil Agus dari luar, tiba-tiba ia keluar membuka pintu hingga membuatku jatuh karena aku berdiri tepat di depan pintu. Ia berlari tanpa henti dengan memanggil-manggil Suster dan Dokter, saat aku terjatuh ia bahkan tak menoleh sekalipun.
“Dokter … Suster!” Agus berteriak hingga memekikan telinga karena suara hujan sendiri sudah berhenti. Aku memeriksa keadaan dari Bu Ratmi, tak ada yang terlihat baik dan nafasnya sudah berhenti saat itu. Dokter datang bersama Agus dan ia dengan sigap memeriksa keadaan Bu Ratmi, aku sempat berharap apa yang aku simpulkan sebelumnya adalah salah. Ternyata itu sudah suratan takdir karena Bu Ratmi benar-benar telah menghembuskan nafas terakhirnya.
“ Saya turut berduka cita atas kehilangan Bapak.” Dokter menyatakan kematian dari Bu Ratmi secara tersirat saat menyampaikan ucapan duka cita kepada Agus, sedangkan Agus sendiri hanya terpaku dan terdiam tanpa sepatah kata pun. Shock terlihat jelas di wajahnya hingga ia hanya memandang jasad Ibunya tanpa memperdulikan yang lain. Mata yang berkaca-kaca tak mengeluarkan air mata dan Agus berusaha untuk tetap tenang lalu mendekat ke jasad ibunya.
“Terima kasih Bu … dan maaf …,” Agus berbisik ke telinga kanan ibunya, aku yang mendengar suara lirihnya mulai menitihkan air mata dan tak bisa menahan tangisanku.
***
Bendera merah yang terbuat dari plastik terpasang di depan rumah kami, orang berpakaian serba hitam datang dan pergi bertamu ke rumah. Orang-orang tersebut berusaha untuk memasang muka murung mereka, tapi Agus justru tersenyum di hadapan mereka saat menerima rasa belasungkawa yang tulus dari para pelayat tersebut.
“Terima kasih sudah datang.” Agus menyalami semua orang yang datang dan aku berada di sampingnya.
Tetangga paling dekat membantu kami menyiapkan prosesi pemakaman tersebut dan mereka juga datang paling pertama ke rumah untuk menyiapkan segala keperluan. Setelah itu para pelayat seperti kolega, teman dan keluarga kami mulai berdatangan.
“August …! Yang kuat ya.” Seorang wanita paruh baya memeluk August dengan erat, tapi aku merasa ketulusan tak sampai ke hatiku saat melihatnya berbuat seperti itu. Bertanya-tanya siapa dia saat pertama melihatnya, akhirnya terjawab ketika mendengar dari mulut wanita tersebut jika dia adalah adik dari Bu Ratmi.
Aku tak menyangka jika Agus benar-benar memiliki keluarga karena saat pernikahan kami tak ada yang datang. Namanya adalah Rani dan berumur sekitar lima puluh tahunan, ketika melihatnya aku langsung bisa menilai orang seperti apa dia. Arogansi akan terlihat jelas pada orang yang suka memakai pernak-pernik gemerlap sepertinya, terlebih lagi pada momen yang kurang tepat seperti pemakaman. Tangan yang ia gunakan untuk bersalaman denganku juga di tarik cepat-cepat olehnya, seolah-olah gelangnya akan diambil olehku atau bisa dibilang dia memandang rendah diriku.
“Kamu mantunya Ratmi ya?”
“Iya Bude.”
“Kalau begitu ambilin teh anget pake gulanya satu sendok saja!” dia menyuruh seolah-olah dia adalah seseorang yang terhormat dan dengan terpaksa aku melakukan permintaannya tersebut. Aku rasa hanya dia orang di Indonesia yang meminta teh anget saat sedang prosesi pemakaman kakanya.
“Baik Bude!” pergilah aku ke dapur untuk membuat teh, tentunya aku harus merebus terlebih dahulu airnya karena orang berduka tak akan sempat untuk membuat air panas.
“Ini masih panas banget, mau tenggorokanku luka ya? Cepat ganti sana!” jika dia orang yang pintar maka tinggal menunggu air yang panas menjadi hangat, namun karena arogansinya yang seperti ratu menyuruhku untuk membuat teh yang panas menjadi hangat. Aku adalah orang yang tak suka menyimpan dendam dan karena itu aku langsung membalasnya saat itu juga dengan memberikan ia teh super panas yang lebih dari sebelumnya lalu meninggalkanya di samping tempat duduknya tanpa memberi tahunya.