Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #28

7 Akhir Pekan

“Akhirnya aku bisa merasakannya!” begitulah teriakku dalam hati sembari memejamkan mata dan mendekatkan bibirku, tapi kenyataan tak berjalan sesuai harapan karena Agus tiba-tiba bersin dan itu membuatku lekas berbalik lalu menutup kedua mataku rapat-rapat.

***

“Hahaha … sungguh luar biasa!” tawa dari Lena sangat menggangguku, “Akhirnya kau sudah masuk fase kronis, jadi kamu harus lebih hati-hati!”

“Kenapa?”

“Karena tanpa sadar kau akan memberikan semua yang kau miliki!”

“Apa maksudmu?”

“Daripada kau terus bertanya, kenapa kau tak menyusun strategi untuk membuatnya jatuh hati.”

Hari Minggu itu aku pergi ke rumah Lena karena ingin bertemu denganya yang tentu dibarengi dengan sesi curhat. Walau tak terencana aku sangat bersyukur bisa pergi ke rumah Lena, selain mengobati rasa rindu aku juga bisa mencurahkan isi hati yang selama ini aku pendam sendirian. Tak terkecuali masalah hubunganku dengan suami sepertigaku itu, aku mengatakan sepertiga karena kami masih belum melakukan apa yang dilakukan pasangan suami istri pada umumnya. Orbolan kami berjalan sangat asik hingga membuat kami lupa akan waktu yang membuatku terlambat pulang ke rumah orang tua.

“Dari mana saja kamu, kenapa baru pulang?” Bapak menegurku karena pulang jam delapan malam pada hari minggu, aku kira dia bisa berubah setelah putrinya menikah.

“Lagian ini hari minggu, kenapa aku gak boleh main dan bukan Bapak yang harusnya khawatir?”

“Kamu ini dibilangin malahan ngenyel, wanita bersuami itu …” aku bersiap untuk membuka telingaku lebar-lebar mendengar nasehat dari Bapak.

“Sudah pulang ya, gak kehujanan kan?” Agus keluar dari rumah untuk menjadi tamengku, “Dia sudah izin sama saya kok Pak.” Tingkahnya membuatku tersenyum terlebih dia menjemput dari luar rumah dengan memelukku.

“Tuh dengerin!” dengan senyuman aku masuk ke rumah karena akhirnya aku bisa menghindari apa yang aku ingin hindari.

Kunjungan singkat kami berdua ke rumah orang tuaku berakhir dengan baik karena tak menimbulkan kecurigaan apa pun dari mereka. Peran suami yang baik bisa di jalankan dengan baik oleh Agus, orang-orang di desaku juga sangat senang dengan dia.

“Terima kasih, kau sudah membantuku.”

“Bukankah itu sudah kita sepakati, jadi tak perlu sungkan.” Niat untuk berterima kasih dengan baik masih di sikapi dingin oleh Agus seakan-akan itu bukan apa-apa.

“Bagaimana kalau kita namakan proyek ini dengan sebutan tujuh akhir pekan?” Aku kembali teringat dengan hasil obrolanku dengan Lena, kami berdua telah berhasil menyusun strategi untuk membuat Agus jatuh hati kepadaku.

“Sampai dirumah aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, bolehkan?”

“Kenapa tidak sekarang saja dan kenapa harus minta izin segala? Tinggal bilang saja.”

“Aku hanya ingin kau mendengarku dengan baik dan bisa menjawab semua perkataanku dengan penuh pertimbangan.” Rasa gugup mulai menyebar ke seluruh tubuh.

“Benar juga, baiklah aku mengerti.” Agus kembali fokus mengemudi mobil.

“Tak kenal maka tak sayang adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan langkah pertama yang harus kau lakukan, tapi aku rasa kau harus terang dari awal untuk mengutarakan niatmu karena setelah kudengar, suami adalah orang yang kurang memiliki kepekaan. Jadi dia tak akan tahu sebelum kau memberi tahunya kalau kau memang mencoba menggodanya!” merasa perkataan Lena ada benarnya maka aku mengajak Agus untuk berbicara empat mata sesaat kami sampai di rumah.

“Jadi apa yang ingin kau katakan?” gugup ketika melihat wajahnya membuat diriku membeku dan tak bisa mengutarakan kata-kata yang aku inginkan selama beberapa saat, “Ayo apa yang ingin kamu bicarakan?“ tiba-tiba sebuah pangilan telpon masuk, “Maaf ada telpon aku angkat dulu ya!”

“Aku suka kamu!” aku sedikit berteriak yang tentunya itu membuat Agus kaget lalu menutup telponnya dan memandangku dengan tatapan terkejutnya.

“Apa?” tatapan yang terkejut berubah menjadi tatapan yang penuh rasa senang dan bahkan ia tersenyum kepadaku, tapi senyum ramahnya tak bisa aku artikan karena itu hanya untuk mengejekku atau sebagai tanda benar-benar senang dengan apa yang aku katakan.

 “Kenapa kau melihatku seperti itu?” aku tersipu melihat tatapan Agus dan keringat keluar dari tubuhku seakan aku sudah berlari maraton.

“Maaf aku hanya terkejut saja, kau hampir membuatku menjatuhkan Handphone ini!” ekspresi yang seperti menahan tawa membuatku berpikiran kalau dia tidak menganggap serius ucapanku,”Lalu apa yang harus aku lakukan untukmu?”

“Apa yang kau katakan? Bukankah kau seharusnya menanggapi perkataanku tadi!” aku kesal dengan tanggapan Agus yang juga membuatku meninggikan nada bicaraku.

“Baiklah maafkan aku, sebenarnya …” ketika kata ‘sebenarnya’ keluar dari mulut seseorang maka ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan dan biasanya itu berbeda dari apa yang ia tunjukkan, aku pun berandai penuh kegirangan dalam seper sekian detik jika Agus juga merasakan hal yang sama denganku.”Aku memang mulai merasakan ketertarikan, namun sayang itu tidak bisa membuatku hingga jatuh cinta padamu!”

“Maka biarkan aku mendorongmu hingga jatuh, bukankah kau setidaknya bisa memberi aku kesempatan?”

“Lalu apa yang harus kulakukan untukmu?” dengan hati yang membara aku mendekatkan wajahku ke arah Agus, “Kenapa kau seperti ini? Wajahmu terlalu dekat.” Dia terlihat agak kurang nyaman dengan manuver yang aku lakukan.

“Kau cukup menyediakan waktu di akhir pekan dan menuruti segala permintaanku, tapi tenang saja aku tak melakukan hal aneh-aneh!”

“Baiklah … sekarang bisa kau menjauh dariku?”

“Tentu saja!” niat untuk menggodanya aku berbisik dengan lirih di telinga kanannya, “Terima kasih …” kelihatannya itu sedikit membuatnya geli.

“Untuk menyusun strategi yang ampuh kau harus mengenal musuhmu dengan baik, jika itu terjadi maka musuh tak akan bisa melawan, mungkin saja bendera putih akan berkibar bahkan sebelum perang dimulai.” Aku mengingat perkataan Lena dan berusaha menjalankan sarannya tersebut dengan melakukan sesi tanya jawab dengan Agus saat akhir pekan.

***

“Apa warna kesukaanmu?” Kurasa hal-hal remeh akan membantuku nantinya, aku bertanya kepada Agus sambil membawa catatan, kami bertanya satu sama lain.

“Biru, tapi terkadang aku juga suka Hijau karena menyegarkan. Kalau kau sendiri suka warna apa … ? Maaf lupa, pasti kau suka pink!”

“Kenapa kebanyakan pria selalu berpikir wanita suka Pink, hal yang sangat membosankan dan aku benci dengan hal seperti iu. Warna kesukaanku adalah Ungu!”

“Owh maaf kalau begitu, aku hanya menyimpulkan secara umum.” Kami seharian hanya duduk di ruang tamu dengan berbicara serta menulis perkataan pasangan, seperti menghadap ke sebuah cermin, ternyata bersama dengan kesamaan dari kami maka banyak sisi yang berbeda dari kami berdua.

***

Hari berikutnya aku pun mulai menjalankan rencana yang sudah aku susun, tentunya dengan bantuan dari Lena lewat sambungan telepon yang memakan lebih dari satu jam. ”Buat dia jatuh dengan menariknya ke bawah menggunakan daya tarikmu,  jadi jangan pernah masak!” sudah membeli banyak bahan pada akhirnya aku tak jadi memasak untuk Agus, sebenarnya masakanku tak terlalu buruk, jika ada lomba ketepatan suhu air panas mungkin pialanya sudah lama di lemariku.

“Ayo ikut aku, kau sudah janji akan menurutiku kan?” mengetuk pintu untuk membangunkan Agus, aku berpikir untuk mengajaknya olah raga dengan jersey klub kesayangannya terpakai di badanku, supaya yang memakai juga disukai olehnya.

“Ada apa pagi-pagi begini?”

“Ayo olahraga!” aku menggaet tangannya untuk keluar dari kamar, ia tampak terkejut dengan apa yang kulakukan dan dengan apa yang kukenakan pagi itu.

“Wow kau sangat berusaha dengan baik.” dia mengusap matanya sambil mengeleng-gelengkan kepala seolah-olah terpesona kepadaku,”Kemarin aku bilang klub kesukaanku adalah The Reds, kenapa malah yang kau Pakai The Red devils?”

“Bukankah itu sama saja? Sama-sama pakai kata-kata ‘The Red’ kan?” aku tetap bersikukuh.

“Ya jelas bedalah, klub kesukaanku itu lambangnya burung Liverbird, sementara yang satunya itu rival abadinya dan jerseynya yang kamu pakai sekarang itu lambangnya SETAN!”

“Kenapa ketika kau bilang setan menghadap ke aku? Kalau kau kesal jangan gitu caranya!” kesal dan kecewa bercampur aduk seperti Es campur, dengan dinginnya aku kembali ke kamar, tak berbicara dengannya.

“Kau tahu bukan itu maksudku, kenapa kau pergi? Katanya mau olahraga!” aku tak menghiraukan perkatan Agus dan menutup pintu kamarku hingga bersuara keras.

Aku segera melepaskan kaos jersey yang aku pakai dan melemparkannya ke atas lantai, mengunci kamar dari dalam, merajuk sendirian di atas kasur lalu menutupi diri dengan selimut. Bukan karena marah kepada Agus aku melakukan hal seperti itu, tetapi rasa malu yang aku alami membuatku ingin dibekukan dalam es hingga Agus lupa dengan peristiwa tersebut. Hal yang lebih mengesalkan terjadi saat itu, Agus sama sekali tak mencoba untuk mengetuk pintu.

Lihat selengkapnya