Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #29

Batu dibalik udang

Kami berdua sepakat untuk tidur bersama di akhir pekan berikutnya dengan aturan yang sudah di sepakati berdua, aku memang hanya ingin tidur di sampingnya, berhubungan badan bukan tujuan utamaku. Meskipun begitu kejadian aneh terjadi seiring mendekati D-day, seolah-olah yang Maha kuasa berusaha untuk memberi tanda kepada kami berdua agar menyempurnakan pernikahan kami.

Sebagai pasangan suami istri kami mencuci pakain sendiri-sendiri, aku sendiri belum pernah  melihat pakaian kotor miliknya, saat menjemurnya pun kami melakukannya di tempat berbeda. Aku menjemur cucianku di belakang rumah dan Agus menjemurnya di loteng, untungnya rumah kami meskipun kecil semua tempat dapat dimanfaatkan dengan baik.

Di hari Senin berikutnya saat pulang kerja aku berlari karena cucianku belum diangkat dari jemuran, saat itu aku juga ingat kalau Agus juga punya jemuran, karena takut akan basah maka dengan terpaksa aku juga harus mengangkatnya. Mungkin yang kulakukan saat itu agak berlebihan, mengangkat pakain dalam dari jemurannya menggunakan tangan yang berselimutkan pakaian lain. Itu bukan sikap jijik sebenarnya, namun pikiranku yang sudah ke mana-mana membuatku melakukan itu.

“Kau mengangkat jemuranku?”

“Iya, soalnya kelihatan mendung banget!” aku berusaha bersikap tenang, agar dia tak merasa salah paham dengan tingkahku.

“Baiklah terima kasih.” Agus pun terlihat tenang, sepertinya dia tak khawatir kalau aku melihat celana dalamnya.

Malam tiba aku berada di kamar untuk melipat dan merapikan baju-bajuku yang sudah kering, setelah itu memasukannya ke dalam lemari sesuai jenisnya, Pakain dalam aku pisahkan sendiri.

“Apa ini!” teriakku sambil membuang celana dalam yang aku pegang, itu celana dalam laki-laki, aku langsung berpikir jika celana tersebut tak sengaja tercampur ke tumpukan pakaianku karena aku mengangkat jemuran Agus.

“Ada apa, kenapa kau?” Agus membuka pintu kamarku saat aku mengambil celana dalamnya yang ada di lantai,suasana pun menjadi sangat canggung. Aku mematung tanpa bergerak sedikitpun saat Agus melihatku, dengan perlahan ia mengambil celananya yang aku pegang. “Oh … terima kasih.” Dengan segera ia menutup pintu, aku benar-benar malu saat itu.

Ke esokan harinya kami masih berperan sebagai pasangan canggung, hingga membuatku melakukan kesalahan yang cukup fatal. Ketika sarapan pagi aku menumpahkan sup panas kebagian yang tidak seharusnya dari Agus, terpaksa aku panggil ambulan untuk membawanya ke rumah sakit. Untungnya Dokter bagian Uruologi mengatakan kalau tak ada cidera serius, sementara itu Agus hanya tersenyum pahit kepadaku. Tentunya aku sangat merasa bersalah saat itu, hingga aku tak berani mengungkit permintaanku untuk tidur bersama.

Selasa hingga ke hari jumat aku berusaha untuk bersikap sewajarnya, karena tak ingin membuat Agus terkena masalah lagi, aku tak tahu harus berbuat apalagi dan merasa Agus membenci tingkahku yang ceroboh. “Kenapa kau diam saja? Sudah kubilang aku gak apa-apa, jadi gak usah terlalu dipikirkan, ok?” Agus menegurku yang selalu terdiam di hadapannya.

“Sekali lagi aku minta maaf, aku memang orangnya suka ceroboh, maafkan ….” Air mata keluar membasahi wajahku seperti anak yang takut jika tak ada teman yang mau main dengannya lagi.

“Kenapa harus nangis? Aku benar-benar baik-baik saja!” Agus menepuk pundakku, sesaat ia kebingungan tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkanku, hingga ia mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam seketika. “Kau bisa memeriksanya, sekarang atau besok, kau maunya bagaimana?” bulu kutuku seketika merinding dan membuat air mataku yang keluar diganti dengan keringat yang keluar dari pori-pori tubuh seperti ember yang bocor karena tak tahu harus bagaimana.

“Oohh … Aaku …” tak pikir panjang aku langsung bangun dari kursi dan pergi ke kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun, pintunya pun kututup rapat. Mungkin tingkahku benar-benar seperti sebuah robot saat itu; kaku, diam dan hanya memandang lurus.

***

“Kenapa aku yang mendengarnya saja menjadi ingin membenturkan kepalaku, suamimu sudah kelewat batas bercandanya, namun di lain sisi kau bisa menganggap itu sebagai tanda bahwa nanti malam kau tak akan tidur, bukan begitu?” Lena turut memberi pendapat tentang peristiwa yang agak aneh tersebut, dia mampir ke rumah setelah dari kota, tentunya Agus sedang tak ada dirumah saat itu karena ia pergi ke rumah Ilmi.

“Apakah aku harus menanggapi hal tersebut dengan serius? Lagian mungkin saja ia cuman mau aku berhenti merengek, tapi di lain sisi itu justru membuatku sangat terkejut.”

“Aku rasa tidak, usahamu terbayarkan,dia jelas-jelas tertarik kepadamu! Jadi sekarang kau harus membuat api kecil tersebut menjadi membara dengan bensin yang kau beli!” Lena mengeluarkan Handphonenya dan membuka situs pencarian untuk mecari toko pakaian terdekat.

“Kau bercanda kan? Ini akan membuatnya tertawa, bahkan mungkin dia akan jijik kepadaku.” Aku berusaha untuk menolak baju tidur yang ditawarkan Lena, “Itu benar-benar terlalu …” Benar-benar tak bisa membayangkan aku memakai itu.

 Malam tiba dengan suasana tenangnya dan damai, namun suara dari jantungku seperti genderang mau perang karena gugupnya diriku. Saat akan malam kami berdua tak berbicara banyak hal, hanya menanyakan kabar masing-masinng, beberapa kali aku hanya memandanginya dan sesekali kami beradu pandang. Sorot mata dari Agus sedikit mengisyaratkan sesuatu, tapi aku berusaha untuk menganggap hal tersebut tak perlu dirisaukan dan mungkin saja hanya perasaanku saja.

Setelah itu aku langsung masuk ke kamar karena tak kuasa menatap Agus. Dari dalam kamar aku mendengar aku menghabiskan waktu untuk menonton TV, seperti biasa acara bola menjadi kesuakaannya. Sementara itu aku di dalam kamar mencoba untuk menangkan diri dan menghibur diri dengan menghabiskan waktu berselancar di internet menggunakan Laptop. ‘Malam pertama’ adalah kata kunci yang aku ketikan dalam mesin pencarian, meskipun sudah tahu apa yang akan muncul tak membuatku berhenti untuk membaca apa yang muncul dalam pencarian tersebut. Beberapa saat kemudian aku membuka tas belanjaan yang berisikan baju yang aku beli dengan Lena siang sebelumnya dan berpikir apakah aku harus memakainya atau tidak. Dengan alasan ingin menjadi diri sendiri, aku memutuskan untuk tak memakai baju tersebut, di sisi lain aku yakin itu akan berguna di masa depan dan karena itu kusimpan rapi baju tersebut di dalam lemari.

Terdengar suara sorak-sorak pertandingan bola di televisi telah usai dan dengan cepat aku langsung menutup komputer jinjingku lalu pergi ke atas kasur. Suara langkah kaki yang terdengar jelas menuju depan pintu kamar membuatku menghela nafas sebagai upaya untuk melepaskan diri dari rasa gugup.

“Sya … boleh aku masuk?” Agus mengetuk pintu kamarku.

Dengan cepat aku berusaha merapikan segala hal, selimut, bantal dan pakaian yang aku pakai. “Ingat, kau harus menunjukan daya tarikmu dan itu terlihat saat pertama kali pria masuk ke kamar. Kamu bisa mencoba memiringkan kepalaku ke samping dan duduk dengan menyilangkan kedua kaki yang sejajar, atau secara sederhananya kau harus terlihat sesexy mungkin di hadapannya!” Teringat dengan perkataan Lena tersebut membuat diriku tanpa sadar melakukan pose yang diajarkannya.

“ Masuklah!” aku berusaha untuk membuat suaraku selemah lembut yang kubisa.

“Baiklah aku … “ dia menatapku dengan mengernyitkan dahi dan secepat mungkin aku langsung berusaha untuk menghentikan pose anehku, “ Begini rupanya suasana kamarmu, dekorasi yang bagus!” dengan perlahan ia berjalan menuju kasur dengan melihat sekeliling kamarku.

“Iya, aku suka sesuatu yang sederhana.”  Aku sedikit panik ketika Agus berada di samping lemariku, pintunya tak tertutup rapat karena tadi aku terlalu terburu-buru.

“Lemari wanita seharusnya tertutup rapat, maaf aku tutu...” badannya seperti tersentak saat secara tak sengaja melihat isi lemariku, ia juga berbalik melihatku dengan senyuman terpaksanya, dan begitu juga aku terpaksa membalasnya dengan senyuman yang memperlihatkan semua gigi depanku.

“Sebenarnya itu tadi …”

“Rupanya kau sangat bersemangat, tapi maaf, seharusnya kau tak terlalu berharap banyak.” Setelah mendengar Agus membuat diriku mempertanyakan diri sendiri Apakah sebegitu kurang menarik diriku hingga ia tak mau menyentuhku, “Entah apa pendapatmu sekarang, aku tak masalah.”

Dia berada di samping ranjang dan dengan perlahan masuk ke dalam selimut yang sama denganku, hanya dengan senyuman yang terlihat terpaksa dan wajahnya yang lesu mengisyaratkan padaku jika dia memang tak dalam kondisi prima. Walau kesal dengan apa yang aku harapkan mungkin saja tak terjadi, rasa gugupku berubah menjadi rasa khawatir kepadanya. “Kamu sakit, sejak tadi wajahmu pucat.”

“Maafkan aku yang belum bisa memenuhi keinginanmu, bolehkan malam ini aku hanya ingin berbaring di sampingmu dan merasakan bagaimana rasanya ada orang di belakang pundakku.” Dia perlahan ia berbaring di ranjang dan berbalik membelakangi diriku, saat itu aku menanyakan pada diriku sendiri apakah tanganku boleh menepuk pundaknya?

“Kau sudah tahu perasaanku bukan, jadi kau bisa tenang sekarang karena akan ada orang yang selalu ada untukmu.” Aku juga ikut berbaring di atas ranjang tepat di belakang pundak Agus yang lapang, jari telunjukku berusaha mendekat dan menyentuhnya dengan sopan.

Hanya tertawa kecil mendengar perkataanku, “Terima kasih dan maaf karena belum bisa membalas perasaanmu seutuhnya, mungkin yang di atas belum memberikan anugerahnya.”

“Kalau boleh tahu kau pernah menyukai seseorang?” pertanyaan tersebut keluar tanpa aku pikirkan.

Lihat selengkapnya