“Kenapa kita harus bercerai? Aku tak sudi menandatanganinya sebelum tahu alasannya, bukankah kau berjanji untuk menjadi suami yang baik dulu, terus kenapa jadi gini?”
“Maaf, aku sudah tak bisa menjadi suami yang baik karena aku sudah melakukan kesalahan, aku sudah berbohong kepadamu.” Tanganku tanpa sadar menampar wajahnya dengan keras, itu karena pikiranku langsung mengingat nomer aneh yang menelponnya sebelum ia menghilang. Meyakinkan diri sendiri bahwa dia sudah punya wanita lain dan telah selingkuh dariku selama ia menghilang.
“Kau tak perlu mengatakannya lagi, aku tak ingin mendengarnya!” rasa kecewa yang sangat menyakitkan membuatku tak ingin menabur garam di atas lukaku yang dalam.
“Kenapa kau tak melakukannya lagi? Jika memang itu membuatmu lega, aku sangat pantas mendapatkanya.” Tubuhku tiba-tiba lemas dan tak kuat untuk berdiri, “Kenapa kau baik-baik saja? Kita bisa bicarakan ini nanti jika kau belum siap.” Aku sedikit tidak mengerti saat itu, kenapa orang yang ingin meninggalkanku masih memancarkan sorot mata penuh kekhawatiran.
“Kalau kau ingin benar-benar berpisah datanglah ke rumah, kau yang memintaku maka kau yang harus mengembalikanku kepada orang tuaku.” Dengan terhuyung-huyung aku berusaha bangun dan pergi dari rumah tersebut, aku berusaha untuk menahan tangisanku sebisa mungkin karena aku tak ingin terlihat lemah lagi di depan orang yang ingin meninggalkanku. Ketegaran harus aku perlihatkan dengan jelas sebagai tanda jika aku bisa bertahan karena aku adalah wanita kuat.
Tak percaya dan berusaha mencari tahu merupakan dua hal yang terjadi padaku setelah satu jam pergi dari hadapan Agus. Aku menelpon Lena saat berada di dalam taksi untuk bertanya dan mengatakan semua yang terjadi, karena jika tidak maka mungkin kepalaku akan meledak saat itu.
“Maafkan aku … kenapa ini bisa terjadi padamu? Semuanya adalah salahku.” Rasa bersalah setelah mendengar apa yang terjadi lantas membuat Lena juga tak kuat menahan tangisannya.
“Maafkan saya, sebagai teman tak bisa menghentikannya, sekali lagi saya mohon maaf!” Ilmi yang sebagai teman dekat Agus juga mengakui kesalahan temannya, aku yang mendengarnya hanya bisa meratapi kesedihan yang ada tanpa ada seorang pun yang dapat mengerti. Dalam perjalanan pulang itu aku yang masih sangat kaget dan tak habis pikir dengan apa yang terjadi padaku saat itu, air mata pun terus-menerus menetes tanpa suara tangisan dariku.
“Kenapa kamu Sya?” Ibu memanggilku yang ada di kamar menangis hebat, “Kenapa nangis?” suara tangisanku tak bisa kutahan saat memikirkan bagaiamana masa-masaku dengan pria yang akan meninggalkanku, aku kira tak akan ada rasa sakit lagi dan aku kira sudah menemukan pria yang tepat untuk mengarungi lautan kehidupan yang melelahkan ini. Di satu titik kejadian tersebut benar-benar membuatku hancur dan membuatku menganggap semua pria adalah seorang pembohong, mereka rela melakukan apa saja untuk mewujudkan keinginannya. Aku sendiri menjadi korban untuk kasih sayang yang ia terima dari orang lain.
***