Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #31

Dua Ikan di jaring yang sama

Aku melakukan apa yang ingin aku lakukan, meprioritaskan diri untuk segala hal dan memperbaiki diri karena ingin menjadi pribadi yang lebih baik. 6 bulan sejak aku berpisah, awalnya merasa sangat terpuruk, lambat laun aku mulai bangkit dengan membuka bisnis baju online. Tak hanya itu aku mulai kesibukan lain seperti ikut kursus bahasa Korea dan ditambah dengan kursus memasak di hari sabtu dan minggu.

Bapak dan Ibu menjadi selektif dalam hal mempertemukanku dengan pria lain, nampak mereka tak ingin kejadian sebelumnya terulang. Sekarang orang tuaku lebih mengkhawatirkanku dari pada bertanya mau ketemu siapa, meskipun begitu mereka tak terlalu posesif dan lebih membebaskan aku untuk melakukan hal yang kuinginkan.

“Mau kemana?” Bapak bertanya kemana aku pergi.

“Mau nganterin pesenan baju.”

“Hati-hati, jangan lupa bawa jas hujan, langitnya mendung!” Bapak memberiku jas hujan yang ada di teras.

Aku pergi ke pusat kota untuk bertemu customer, mengantarkan dua potong baju pria dengan sistem COD. Pria tersebut memintaku untuk menunggu di taman kota, kami sudah janjian malam sebelumnya melalui Chat. Sekitar 10 menit menunggu akhirnya ada orang yang memanggil namaku, “Mbak Arsya?” aku berbalik dan melihat wajahnya, sedikit terkejut ternyata dia adalah orang yang aku kenal.

“Mas Ilmi?” dia adalah teman dari mantan suamiku.

“Lama tidak bertemu.” Entah kenapa saat itu, tiba-tiba kenangan buruk kembali menghampiriku saat melihat wajahnya. Aku langsung berusaha untuk menunduk, namun suaranya kembali mengingatkanku saat kami berbicara pada hari suamiku meninggalkanku.

“Ya, semuanya 180 ribu mas, bisa langsung dibayar?”aku berusaha untuk cepat-cepat pergi dari hadapannya.

“Maaf, Ini uangnya dan …” dia terlihat ingin berbicara banyak denganku, berusaha untuk tak menanggapinya aku lekas pergi dari tempat tersebut.

“Maaf aku pergi dulu, masih banyak pesanan yang harus diantar!” aku meninggalkannya sendirian di tengah keramaian dan tak menoleh sedikit pun.

“Baiklah!” Ilmi berteriak kepadaku yang pergi menjauh darinya.

Aku merasakan sedikit sesak nafas, rasa sakit yang aku rasakan serasa kembali menghantuiku. Kenapa bisa ia menemuiku seolah tak terjadi apa pun, aku merasa itu bukan kebetulan dan ia punya maksud lain.

***

“Bu kita harus bagaimana? Bukankah seharusnya Arsya segera menikah lagi?” dari kamar aku mendengar Bapak dan Ibu berbicara di ruang tamu.

“Ibu masih tetap pada pendirian, kebahagian Arsya adalah yang utama, Ibu tak mau dia merasakan rasa sakit yang sama. Ibu benar-benar sangat takut waktu dia mengurung diri setelah perceraiannya dulu!”

“Dia bukan anak kecil lagi, Arsya seharusnya bisa menghadapi itu semua. Bapak tak ingin dia sendirian sepanjang hidupnya!”

“Ibu tahu itu, tapi ini belum waktunya.” Mendengar kedua orang tuaku bertengkar membuatku merasa bersalah, diriku yang lain ingin menjadi anak yang tidak lagi membuat mereka khawatir. Sebenarnya tak hanya satu atau dua kali aku mendengar mereka bertengkar dini hari seperti itu, adakalanya mereka juga menangis dan menyalahkan diri terutama saat masa-masa awal perceraianku.

“Sya ayo makan!” semua orang tua tak ingin anaknya mengetahui perasaan yang mereka tanggung, itu juga yang kedua orang tuaku lakukan, mereka berusaha untuk menutupinya dengan sarapan pagi yang penuh senyuman. Aku yang sebagai anak pun berusaha untuk tak membuat mereka tambah khawatir dan berusaha untuk menutupi kekhawatiranku dengan kebiasanku yang terlihat seperti biasanya.

“Habis ini tolong belikan Ibu cairan pel di warungnya bu Inah, punya kita udah habis, Ibu mau bersihin lantai jadi gak bisa.”

“Ya bu, kalau ada janji biar aku yang pel, Ibu gak usah khawatir.” Sebagai seorang kepala perkumpulan PKK ia nampak sibuk hari itu, jadi aku menggantikannya mengurus rumah.

***

“Dia baru nikah 6 bulanan udah cerai lho!” terkadang aku selalu mendengar perkataan yang seharusnya tak ingin kudengar, itu hanya satu dari beberapa kalimat yang terkadang aku dengar di kampungku saat aku keluar rumah dan aku rasa itu belum seberapa.

“Beli cairan pelnya satu!” aku meminta kepada penjaga toko klontong.

Lihat selengkapnya