Butuh waktu lama untuk kami melangkah ke jenjang pernikahan, apalagi aku perlu memerlukan waktu untuk berpikir tentang pernikahanku yang ke dua. orang tuaku juga tak mudah untuk ditaklukan restunya, butuh sekitar 2 tahun untuk meluluhkan mereka.
“Sini aku bantu ngirim, gak mungkin kami bawa sebanyak itu dengan motor kan?” Ilmi menawarkan untuk menangkut pesananku dengan mobil miliknya. Ilmi selalu menawarkan bantuan kepadaku, meskipun awalnya aku merasa tidak enak, namun lambat laun aku mulai bergantung padanya.
“Baiklah… nanti aku ganti uang bensinya.” Itu adalah jawaban di awal-awal proses pendekatan kami.
Orang tuaku setelah tahu tentang bagaimana Ilmi sering membantuku menjadi lebih ramah kepadanya, bahkan mereka berdua juga minta maaf atas perkataan mereka kepadanya dulu.
“Maafkan saya jika perkataan yang dulu kurang berkenan di hati Mas! saya juga mengucapkan terima kasih kepada mas yang telah membantu keluarga saya.” Bapak berbicara kepada Ilmi dengan ramah, meskipun begitu dia masih belum memberikan hatinya saat itu.
“Maafkan saya juga Mas!” Tak ketingalan Ibu juga ikut minta maaf. Kedua orang tuaku mengundang Ilmi untuk makan di rumah, sebagai tanda terima kasih.
“Tak usah dipikirkan yang sudah lalu, Pak, Bu!” anehnya saat itu Ilmi tak pernah lagi menyinggung soal perasaannya kepadaku, aku mengira dia memang tak ingin membebaniku.
***
Suatu hari saat hari mulai gelap, tiba-tiba ban motorku kempes dan karena tak ingin merepotkan orang tua maka aku menelpon Ilmi. Ia pun langsung datang dalam waktu singkat, seolah-olah seperti terbang.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan? Tunggu bentar, aku segera ke situ!”
“Iya makasih, maaf merepotkan lagi! Kalau boleh tanya, kamu datang ke sini terbang ya? Kok cepet banget.”
“Bisa aja kamu, aku kebetulan ada di sekitar sini.
Ilmi banyak membantuku ketika aku butuh maupun tidak, hingga tingkahnya tersebut membuat perasaanku menjadi kabur. Kedekatanku dengan Ilmi yang mulai terjalin dan itu membuatku ingin tahu lebih banyak tentangnya, aku pun pernah bertamu ke rumahnya.
”Selamat pagi Pak!” seorang tukang kebun yang bekerja di rumahnya menyapa dengan ramah, aku baru tahu kalau rumah Ilmi sangat besar hingga perlu tukang kebun untuk merapikan halamannya.
“Mau minum apa Mbak?” Seorang perempuan bertanya kepadaku, ternyata ia adalah ART yang mengurusi rumah.
“Teh aja Bu!” aku menjawab sambil duduk di depan teras yang sangat megah, terlihat pilar-pilar penyangganya yang besar dan kokoh. Rumah bertingkat dua yang terlihat bak istana, mungkin sampai terlihat paling mencolok dari pada rumah-rumah sekitarnya.
“Kenapa kau tak bertanya lagi?” aku ingin mengetahui alasan Ilmi tentang dia yang tak lagi menanyakan perasaanku.
“Soal?”
“Perasaanku.”
“Aku senang posisi hubungan kita sekarang yang sebagai seorang teman, aku tak ingin merusaknya dengan ke egoisanku, lagian kau sudah pernah menolakku!” dia menjawab dengan tawa dan senyuman, tak ada rasa beban yang terlihat dari dirinya. Aku yang mendengarnya mengatakan hal tersebut juga sedikit lega pada awalnya, namun ada sedikit rasa kesal di sana yang hampir tak terasa.
***
Setelah mengenal lebih jauh membuatku tahu bahwa dia bukanlah tipe pria yang akan berbohong seperti dua pria yang sebelumnya kukenal, itu memang tak bisa dibedakan dan hanya sekadar perasaanku saja. Pada akhirnya setelah sekian lama mempertimbangkan aku membuat sebuah keputusan besar.
“Ini aku potongkan, ayo dimakan!” Ilmi memotongkan kecil-kecil daging Steak untukku saat kami makan di luar berdua.