“Apa-apaan ini? Kenapa menamparku?”
“Ada apa ini … Bude Rani …” Ilmi malah terlihat bingung dan membeku ketika melihat Bude Rani.
“Itu sangat pantas di dapatkan oleh wanita seperti kamu yang pergi meninggalkan suaminya sekarat dan mengambil hartanya lalu menghianatinya, dengan jatuh kepelukan teman suaminya sendiri?!” Aku tak tahu apa yang dimaksud oleh Bude Rani, terlebih lagi aku juga terkejut dengan apa yang dikatakannya karena bagaimana mungkin ia bisa menyimpulkannya seperti itu. Bude Rani terlihat sangat marah, terlihat dari bagaimana ia berbicara dan kedua alis matanya yang meruncing.
“Apa maksud Bude?” amarahku yang memuncak membuat tanganku tanpa sadar membalas perbuatannya, “Kenapa itu salah saya, ha?” aku coba untuk meraih kepalanya dan menjambak rambutnya, kami keluar hingga ke halaman. Sementara itu entah kenapa Ilmi masih membeku bingung tanpa berbuat apa pun.
“Sini kamu, dasar kurang ajar, berani sama orang tau kau ya?” tak memandang umurnya yang sudah 50 tahunan, aku tetap meluapkan amarahku. Keramaian yang kami buat terdengar oleh para karyawan Ilmi dan sopir yang mengantar Bude Rani, kami berdua berusaha dipisahkan oleh mereka.
“Bu udah bu!” Sopir Bude Rani berusaha melerai.
“Nona, tolong berhenti!” tukang kebun juga berusaha menahan amarahku.
“Baiklah semuanya diam!” akhirnya pertengkaranku berhenti setelah mendengar teriakan dari Ilmi, “Aku akan menjelaskan semuanya!” aku pun menjauh dari wanita paruh baya tersebut dan mengatur nafasku yang terengah-engah.
“Baiklah coba jelaskan, aku akan mendengarkannya dengan baik!” lantas Ilmi mengajak Bude Rani ke depan rumah untuk berbicara denganya menjauh dariku, lalu setelah beberapa saat ia kembali ke hadapanku.
“Aku pergi dulu, maaf akan kuceritakan semuanya nanti.”
“Tapi …”
Ilmi pergi naik mobil bersama Bude Rani, namun entah kenapa aku merasakan kesedihan waktu ia pergi saat itu. aku yang masih bingung meminta para karyawan untuk bubar dan kembali kerja seperti biasa. Kesal dan masih terkejut dengan apa yang terjadi, aku kembali ke ruang makan dan merenung duduk menatapa bubur yang sudah menjadi dingin.
‘Sekarat’ adalah kata yang mengusik pikiranku setelah mendengar perkataan Bude Rani, mencoba memikirkan dan mencari makna kata tersebut dengan memikirkan segala kemungkinan. August Wijaya yang terlihat sangat sehat bagiku waktu kami bersama, bagaimana mungkin dia bisa sekarat, namun kalau pun benar maka itu bukan tanggung jawabku lagi.
***
Satu jam lebih berlalu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Aku lekas keluar untuk memeriksa dan sesuai dugaan itu adalah mobil Bude Rani.
“Baik aku tunggu kabar darimu, jangan coba-coba lari!”