Pembunuhan sang Ratu

Dimas Adiputra
Chapter #1

Satu

Hari Minggu yang cerah. Sebuah hari yang tepat untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Tidak terkecuali bagi Judya Pratidina (Yudia Pratidina jika dilafalkan).

Tidak sedikit orang yang salah mengeja namanya. Di mana pun pemuda ini memperkenalkan diri, banyak dari mereka yang kemudian memanggilnya dengan sebutan Yudha. Nama ‘Yudia’ terasa kurang familiar di lidah orang-orang. Begitulah sampai akhirnya panggilan Yudha melekat kepadanya hingga kini.

Motor bebeknya meliuk-liuk dalam keramaian kota Yogyakarta bagian selatan. Terus melaju menuju kabupaten Bantul. Yudha mengikuti arahan yang diberikan oleh aplikasi petunjuk arah pada ponsel pintarnya.

Semakin ke selatan, Yudha menajamkan pendengarannya. Sayup-sayup suara dari aplikasi penunjuk arah yang tersambung ke earphone beradu dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang. Itulah satu-satunya petunjuk yang mengarahkan Yudha sampai di tujuan.

Sebelum operator aplikasi petunjuk arah memberikan tanda ‘telah berada di lokasi’, sekelebat Yudha mengenali orang-orang yang sedang berdiri di depan halaman sebuah rumah. Rumah dengan cat serba putih yang terawat baik. Posisi rumah tersebut berada tepat di pertigaan.

Rumah itu tidak terlalu besar, ukuran standar bagi rumah yang berada di komplek perumahan. Dalam taksiran Yudha, luas bangunannya tidak kurang dari empat puluh lima meter persegi. Sebuah tempat tinggal yang sesuai untuk hunian para keluarga baru atau orang yang masih melajang.

Yang sedikit membedakan dari rumah-rumah lain di komplek ini, rumah yang menjadi tujuan perjalannnya itu memiliki halaman sedikit lebih luas. Khas rumah yang berada di posisi hook. Masih ada sisa tanah yang dapat digunakan untuk mempercantik bangunan, saat sisa tanah di rumah lain hanya cukup untuk carport saja.

Posisi rumah juga cocok bagi penghuni yang tidak ingin terlalu banyak memiliki tetangga langsung. Depan dan sebelah kirinya adalah jalan perumahan. Tetangga rumah persis ada di samping kanan dan belakang rumah tersebut. Pada seberang jalan dibangun sebuah lapangan voli sebagai fasilitas umum para penghuni komplek perumahan. Di tempat itulah Yudha menghentikan sepeda motornya.

Sudah banyak rekan satu kantor yang tiba lebih dahulu. Yudha menebaknya berdasarkan kendaraan yang terparkir di lapangan voli. Salah satunya mobil minibus berwarna silver yang merupakan kendaraan dinas pimpinan kantornya, Yunus Sanusi. Juga sepeda motor milik rekan satu ruangan kerja, Farid Aziz, yang khas karena pada pada bagian atas speedometer menempel stiker logo sebuah klub sepak bola kegemaran pemiliknya. Selain itu ada beberapa kendaraan lain yang Yudha ingat sering terparkir di halaman kantor, meskipun ia tidak hafal pemiliknya.

“Tampaknya saya yang datang paling akhir,” ucap Yudha begitu sampai di depan pagar rumah. Orang-orang yang sedang berdiri di halaman menyambutnya.

“Belum dianggap terlambat jika acaranya belum dimulai,” sahut Togap Marajohan, kepala bagian collection di Citra Finance Yogyakarta. Ia datang bersama dengan seorang anak laki-lakinya.

“Sendirian saja?” tanya Yunus pada Yudha.

“Seperti yang Pak Yunus lihat.”

“Harusnya anak muda sepertimu datang kemari bersama pasangan.”

Lagi, untuk kesekian kali atasan di kantor Yudha itu membincangkan persoalan jodoh. Sebuah topik pembicaraan yang selalu diabaikan Yudha. Entah berapa kali atasannya itu bertanya ‘mana pasanganmu, harusnya diusiamu sekarang ini kamu sudah memikirkan pernikahan, apa lagi yang kamu cari sedangkan semua modal untuk menikah sudah kamu miliki’. Begitulah kalimat andalan Yunus setiap berjumpa dengan Yudha di luar kantor.

“Pak Yunus juga datang sendiran?” balas Yudha. “Ibu dan anak-anak tidak ada yang ikut?”

“Orang rumah sedang sibuk dengan urusan masing-masing.”

Setelah bercakap sebentar, semua orang yang berada di halaman menyusul masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam lebih meriah lagi. Suara musik yang tadi terdengar samar, menjadi tampak jelas. Ada yang sedang asyik mengobrol di ruang tamu, juga ada yang sibuk menyiapkan sesuatu dari dalam dapur.

Terlihat pemilik rumah sekaligus penyelenggara acara keluar dari dapur dengan masih mengenakan apron yang menutupi bagian depan bajunya. Ia berjalan menuju ruang tengah, yang bersama ruang tamu sudah disulap menjadi ruang makan. Diletakannya satu wadah besar berisi aneka buah-buahan yang sudah dikupas kecil-kecil pada meja di sudut ruangan. Di belakangnya menyusul beberapa orang lagi yang membawa wadah berisi makanan maupun peralatan makan. Farid jadi orang terakhir yang muncul dari balik dapur sambil mengudap risoles tanpa rasa bersalah, meskipun acara belum dimulai.

“Aduh, maaf kalau sampai sekarang masih siap-siap. Tadinya kupikir dua jam sudah cukup untuk persiapan, ternyata lebih repot dari yang kubayangkan. Untungnya anak-anak bisa datang lebih cepat dan membantu di dapur,” Ratu Pravita Kurniasari, tuan rumah dalam acara ini menyampaikan permohonan maafnya. Dia menelantarkan para tamu yang sudah datang sejak tadi, bahkan belum sempat menyambut beberapa diantaranya.

“Beruntung sekali Bu Ratu, punya tim yang tanggap. Kalau tim saya di bagian collection pasti banyak yang keberatan. Ada saja alasannya kalau diminta bantuan ini itu,” respon Togap.

“Yah anggap saja ini permintaan terakhir saya sebelum pergi,” balas Ratu. “Wening, cek roti di dalam oven. Kalau sudah matang bawa ke sini.”

Yang disebut namanya menjawab dengan patuh.

“Pakai sarung tangan, hati-hati panas!” tambah Ratu.

Semua orang yang diundang sudah berkumpul di ruangan. Yudha mengedarkan pandangan mengidentifikasi orang-orang yang hadir. Dari kabar yang beredar, undangan pesta hanya ditujukan untuk beberapa karyawan Citra Finance. Tidak semua rekan kantor diundang.

Berdasarkan analisa sekelebat mata, Yudha melihat para bawahan Ratu dari bagian operasional. Lalu karyawan setingkat supervisor dan kepala bagian, termasuk Yudha. Terakhir kepala cabang dan tiga kepala unit yang kantornya menginduk ke cabang Yogyakarta. Dirinya tidak menemukan satu pun karyawan lapangan dari bagian penjualan, survei, dan penagihan.

Tuan rumah sepertinya sudah berhitung sebelum menentukan berapa banyak tamu yang akan ia undang. Ratu sadar rumah mungilnya tidak akan mampu menampung seluruh karyawan Citra Finance. Ia lalu menyiasatinya dengan membuat pesta perpisahan dua kali.

Acara perpisahan pertama sudah dilakukan tiga hari yang lalu. Sebuah acara sederhana dimana Ratu menyampaikan pengumuman pengunduran dirinya saat briefing pagi. Setelahnya dilanjutkan acara sarapan bersama dengan membagikan nasi kuning lengkap dengan aneka lauk yang sudah dipesan dari sebuah rumah catering.

Sementara pesta perpisahan kedua dilaksanakan pada hari ini. Dikemas lebih intim dengan mengundang kolega dekat dan rekan sejawat saja. Acara ini benar-benar menjadi ajang perpisahan, karena mulai esok Ratu sudah tidak masuk kantor lagi.

Sebenarnya status Ratu masih karyawan Citra Finance hingga akhir bulan. Namun besok dirinya akan mulai mengambil cuti. Jatah cuti tahunannya masih tersisa banyak. Alih-alih menukarkan sisa jatah cutinya ke dalam tambahan pesangon seperti banyak karyawan lain menjelang resign, Ratu lebih memilih memanfaatkan hak liburnya untuk berkemas dan istirahat.

Citra Finance cabang Yogyakarta patut berterima kasih kepadanya. Banyak warisan baik yang ditinggalkan Ratu selama tujuh tahun pengabdian. Ia menjadi satu dari sedikit karyawan lama yang bertahan setelah kantornya diterpa isu fraud besar-besaran.

Lima tahun lalu terjadi bedol karyawan di Citra Finance cabang Yogyakarta. Gara-garanya auditor pusat menemukan pelanggaran berat yang terjadi secara sistemik. Melibatkan hampir semua karyawan dari sektor hulu hingga hilir. Tidak terkecuali para kepala bagian dan juga pimpinan cabang.

Tidak ada cara lain menyelamatkan cabang Yogyakarta selain PHK besar-besaran. Beberapa dalang pelanggaran bahkan dituntut hukuman pidana karena telah membuat cabang nyaris kolaps. Termasuk kepala cabang, kepala marketing, dan analis kredit yang main mata saat memberikan persetujuan kredit.

Posisi Ratu sebagai kepala bagian operasional tetap aman karena dianggap bersih. Dia tidak terlibat dalam permainan kotor yang dilakukan banyak pegawai lain. Ratu juga yang menjaga cabang Yogyakarta tetap beroperasi normal hingga akhirnya posisi yang lowong terisi oleh orang-orang baru.

Kisah heroik Ratu ditengah badai masalah lima tahun lalu membuat karyawan lain menaruh hormat. Padahal secara usia dia bukanlah karyawan paling tua. Lima tahun lalu usianya masih dua puluh delapan. Berkat etos kerja dan ketekunan yang ia tunjukkan, tidak ada yang meragukan hasil kerja seorang Ratu Pravita Kurniasari.

Setelah sedikit basa basi menyambut tamu yang baru datang, Ratu kembali sibuk menyiapkan aneka hidangan. Tangannya terampil menyulap meja kosong menjadi penuh makanan. Para staf operasional tidak kalah sibuk dalam membantu Sang Atasan menyiapkan pesta perpisahan.

“Kurang nendang suara musiknya,” Togap bersiap mengambil remote yang tergeletak di samping televisi.

“Jangan Pak, nanti tetangga terganggu,” cegah Yudha.

“Tidak apa-apa,” sahut Ratu yang mendengar pembicaraan keduanya. “Rumah di samping kanan masih kosong, sementara penghuni belakang biasanya tidak di rumah siang-siang begini.”

Yudha masih berusaha mencegah, “Tapi ini hari Minggu Pak, banyak orang istirahat,” bisik Yudha.

Togap tidak menghiraukan saran Yudha. Lelaki berumur kepala empat itu beranjak dari tempatnya duduk, kemudian mengambil remote seperti keinginannya.

Yudha yang sebal melihat tingkah Togap memilih menyingkir. Kakinya bergerak mendekati meja makan. Bergabung dengan Ratu dan para staf operasional yang sedang menata makanan. Terlihat Farid juga berada di sana sedang asyik mengudap.

“Tidak kusangka Bu Ratu mengenal banyak tetangga perumahan,” komentar Yudha setelah sebelumnya Ratu bercerita panjang lebar.

“Kalau satu dua deret rumah warga sih tahu. Lagipula mereka juga ramah-ramah. Ini kan bukan komplek perumahan elit yang penghuninya tidak saling bertegur sapa jika bertemu,” jawabnya.

“Tapi sesederhana apapun perumahan di Yogyakarta, harganya tetap selangit,” seorang staf operasioal ikut menyahut.

“Tidak akan terbeli dengan gaji UMR,” sambung yang lain. Kemudian mereka semua tertawa.

“Berapa uang muka saat membeli rumah ini?” tanya Yudha penasaran. Tidak banyak pegawai seusia Ratu sudah bisa mengambil kredit rumah. Apalagi dengan harga properti Yogyakarta yang semakin diluar nalar.

Ratu menyebutkan nominal. Yudha bertanya lagi, “Berapa lama?”

Lihat selengkapnya