Sudah menjadi pemahaman umum bagi para karyawan Citra Finance, bahwa setiap hari Senin, kantor akan lebih ramai dibanding hari-hari lain. Senin adalah hari dimana seluruh karyawan diwajibkan mengikuti briefing pagi. Tidak terkecuali bagi para pimpinan unit di Sleman, Bantul, dan Wates yang kantornya menginduk pada cabang Yogyakarta.
Selain itu, antrian nasabah yang berniat membayar angsuran juga selalu lebih banyak pada hari tersebut. Penumpukan pembayaran angsuran terjadi karena kantor hanya beroperasi setengah hari pada Sabtu, dan libur keesokan harinya. Tutup hampir dua hari membuat para konsumen yang jatuh tempo pembayaran angsurannya bertepatan pada Sabtu dan Minggu menggeser jadwal pembayaran pada hari Senin.
Perusahaan sebenarnya sudah memberikan kemudahan. Para debitur tidak harus datang ke kantor saat akan membayar angsuran. Angsuran dapat dibayarkan melalui gerai-gerai minimarket yang sudah bekerjasama. Angsuran juga dapat dibayarkan lewat transfer antar bank, dealer tempat nasabah membeli kendaraan, hingga melalui marketplace online. Toh meski begitu, masih banyak konsumen yang memilih membayar langsung ke kantor.
Yudha yang baru tiba hanya beberapa menit sebelum waktu dimulainya briefing hanya bisa pasrah. Tempat parkir sudah penuh dengan kendaraan. Beberapa bahkan terpaksa parkir di pinggir jalan. Keteledorannya bangun kesiangan langsung mendapatkan ganjaran.
Ditengah sibuknya Senin pagi kali ini, Yudha menemukan sesuatu yang tidak biasa. Ia mendapati dua mobil polisi parkir di depan kantor. Juga kerumunan orang yang terlihat tidak sedang antri menunggu giliran membayar angsuran. Orang-orang ini berkerumun di depan pintu masuk. Seorang satpam susah payah mengatur agar orang-orang tersebut tidak masuk ke dalam kantor.
“Ada apa Mas?” tanya Yudha kepada Dede, salah satu petugas keamanan kantor. Wajah security itu nampak keletihan. Ia mengenakan kaos bertuliskan security, dengan sepatu dan celana dinas. Seorang petugas keamanan lain yang mengenakan seragam lengkap berjaga di pintu masuk. Tidak biasanya kantor dijaga oleh dua orang satpam. Rasa penasaran Yudha semakin membuncah.
Dede yang berdiri tidak jauh segera menghampiri Yudha. Ia lantas mendekatkan wajahnya ke telinga Yudha. Membisikkan informasi yang membuat Sang Satpam sementara ini tertahan di kantor meskipun jadwal piketnya telah usai.
“Astaga!” pekik Yudha spontan. “Yang benar Mas?”
Dede mengangguk singkat. Kini Yudha tidak hanya melihat raut wajah keletihan dari sosok di hadapannya itu, namun juga kepanikan sekaligus kebingungan.
“Bagaimana mungkin?” tanya Yudha masih tidak percaya.
“Tidak tahu saya, Mas. Tanya saja pada polisi di dalam.”
Dipandunya Yudha melewati kerumunan manusia di depan pintu masuk. Dede membelah kerumunan hingga Yudha bisa mencapai pintu kaca. Dari dalam ruangan, seorang satpam membukakan pintu sambil mencoba menghalangi orang lain yang tidak berkepentingan.
Tampak beberapa orang sedang bercakap di depan tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua. Tiga diantaranya merupakan petugas kepolisian. Mereka terlibat dalam pembicaraan serius.
Beberapa karyawan lain berkumpul di ruang dealing. Di dalam ruangan kecil itu, sebagian dari mereka terduduk dengan tatapan sayu. Satu dua orang terlihat menangis, sementara seorang lain sedang berusaha menguatkan mereka yang meneteskan air mata.
“Apa benar Bu Ratu meninggal?” tanya Yudha pada kumpulan orang di dalam ruang dealing. Hampir tidak ada yang memberikan respon. Hanya seorang yang mengangguk dengan lemah membenarkan pertanyaan Yudha.
Yudha ingin sekali mengingkari kenyataan tersebut. Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat baik-baik saja sehari yang lalu, tiba-tiba dinyatakan meninggal. Terlebih lagi Ratu baru saja menyelenggarakan pesta perpisahan. Sosok Ratu yang asyik bercanda dengan rekan-rekan kerja sembari memainkan permainan Uno masih terekam jelas dalam ingatan. Kenyataan yang baru ia dapati pagi ini bagai sebuah mimpi yang teramat buruk.
Kesadaran Yudha kembali kala seseorang menyerukan namanya. Yunus Sanusi yang sedang berbincang dengan para polisi memintanya mendekat. Dengan patuh Yudha berjalan menuju tempat di mana atasannya berada.
Seorang staf human resources tergopoh-gopoh turun dari lantai dua. Dalam ritme nafas yang belum beraturan, ia menyerahkan sebuah kertas kepada polisi.
“Ini nomer telepon keluarga Bu Ratu yang tercantum di dalam database emergency contact,” kata staf HR.
“Biar kami mengabarkan kejadian ini terlebih dahulu kepada orang tua korban,” jawab polisi yang menerima kertas.
“Jangan lupa kabarkan berita ini pada kantor pusat,” perintah Yunus pada staf HR tersebut. “Saya juga minta agar kamu berkomunikasi dengan pihak keluarga Ratu. Sampaikan apa yang bisa kita bantu untuk mereka. Persiapkan juga segala kebutuhan keluarga Ratu selama mereka di Yogyakarta.”
Yang diberi perintah mengangguk patuh. Kemudian ia kembali ke ruangannya di lantai dua.
“Mari ke ruangan saya. Barangkali ada hal lain yang ingin para polisi bicarakan dengan kami,” ajak Yunus. Ia juga memberikan isyarat supaya Yudha dan Togap ikut masuk ke ruangannya.
Dua orang polisi mengikuti Yunus, sedangkan seorang lainnya tetap di bawah. Polisi yang tidak ikut ke lantai atas ditugaskan menelepon keluarga korban.
Di dalam ruangan pimpinan cabang, kedua polisi tersebut kembali memperkenalkan diri. Iptu Sasongko, kepala unit reskrim polres Bantul, dan juga Ipda Ni Putu Ayu Widya, penyidik dari polda DIY yang diperbantukan untuk menangani kasus ini.
Salah seorang polisi menjelaskan kembali informasi mengenai peristiwa meninggalnya Ratu. Korban pagi tadi ditemukan meninggal di rumahnya. Jasadnya ditemukan oleh seorang tetangga yang kebetulan datang berkunjung. Dugaan sementara berdasarkan hasil pengamatan TKP, Ratu menjadi korban perampokan yang disertai pembunuhan.
Berdasarkan informasi tetangga, Ratu diketahui tinggal sendirian. Perempuan itu membeli tinggal di sini sejak komplek perumahan selesai dibangun. Tidak ada informasi mengenai orang tua maupun saudara-saudara korban yang tinggal di kota yang sama. Para tetangga hanya tahu bahwa Ratu merupakan karyawan Citra Finance. Dari sanalah polisi kemudian bergerak mencari informasi lebih lanjut.
“Dari keterangan saksi yang menemukan korban, diperoleh informasi bahwa kemarin korban mengadakan pesta perpisahan dengan rekan-rekan sekantor. Mungkin kami memerlukan keterangan dari orang yang hadir di acara tersebut.”
“Baik Bu,” jawab Yunus. Ia melirik pada Yudha.
Yudha menangkap maksud tatapan mata atasannya itu. Segera dia mengeluarkan selembar kertas dan menulis daftar orang-orang yang hadir pada pesta perpisahan Ratu. Untuk memastikan para tamu yang hadir, Yudha membuka ponsel dan mencari arsip foto bersama yang dilakukan kemarin.
“Suruh mereka kemari,” perintah Yunus pada Togap.
“Siap Pak. Tapi seingat saya, hari ini saya belum melihat Hesti.”
“Anak itu belum datang?” gerutu Yunus sembari merogoh saku celana tempat ia menyimpan ponsel. Ia berniat menelepon pegawainya yang belum datang. Saat membuka ponsel, baru ia sadari jika ada pesan masuk dari karyawan yang sedang dibicarakan. Hesti meminta izin untuk tidak datang ke kantor karena sakit.
“Tidak apa-apa, Pak. Keterangannya bisa disusulkan nanti,” kata seorang polisi setelah Yunus mengabarkan ketidakhadiran salah seorang karyawan yang datang pada pesta perpisahan Ratu.
“Anu, mohon maaf sebelumnya,” kata Yunus sedikit ragu-ragu. “Apakah kantor tetap bisa beroperasi? Ada banyak nasabah yang sedang menunggu di antrian kasir, juga ada pekerjaan pelayanan yang tidak bisa ditunda.”
Kedua polisi yang ada di ruangan saling berbisik. Setelah menyepakati pembagian tugas, keduanya mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu kami akan meminta keterangan di sini. Apakah ada ruangan tertutup yang bisa digunakan untuk mewawancarai para saksi?”
“Ruang dealing bisa digunakan.”
“Silahkan Bapak pimpinan cabang yang mengatur siapa-siapa saja yang bisa kami ambil kesaksiannya terlebih dahulu supaya tidak berbenturan dengan aktivitas kantor,” kata petugas polisi mengakhiri pembicaraan.
*
Kesaksian Yunus Sanusi (kepala cabang Citra Finance Yogyakarta)
Yunus menjadi orang pertama yang masuk ke ruang dealing. Sebagai pimpinan tertinggi di kantor cabang, ia ingin menjadi contoh bagi karyawan lain supaya bersikap kooperatif dengan penyidik kepolisian.
Ia sudah sering berinteraksi dengan polisi. Sebagai kepala cabang, dirinya dituntut untuk menjalin keakraban dengan banyak instansi, salah satunya dengan kepolisian setempat. Tidak jarang Yunus mengundang para pimpinan kepolisian di daerah untuk santap siang bersama. Namun tujuan pertemuan kali ini berbeda. Yunus berhadapan dengan polisi bukan untuk menjajaki kerjasama, melainkan menjadi saksi dari sebuah kasus pembunuhan yang menimpa salah satu bawahannya.
Meskipun melangkah dengan rasa percaya diri, saat masuk ke ruang dealing tetap saja ada kegugupan dalam diri Yunus. Ruangan tersebut terasa lebih dingin daripada biasanya, padahal pramukantor sudah menyetel suhu dengan tingkat kesejukan yang sama dengan ruangan lain.
“Eh, belum disediakan minuman hangat?” tanyanya memecah kegugupan.
“Tidak perlu repot-repot Pak. Air putih saja cukup,” Ayu Widya menunjuk beberapa gelas kemasan air mineral yang tersaji pada meja kecil di sudut ruangan.
Yunus duduk pada salah satu kursi kosong. Posisi duduknya membelakangi pintu masuk. Tidak banyak perabotan di dalam ruangan yang biasa digunakan untuk proses negosiasi maupun penandatangan kontrak kredit. Tempat utama di dalamnya hanyalah meja bundar dengan empat kursi empuk. Pada pojokan terdapat meja kecil tempat air mineral dan beberapa alat tulis.
“Pak Yunus bisa mulai dengan menceritakan awal mula korban bekerja di sini.”
“Sepertinya saya tidak bisa menjelaskan banyak. Ratu sudah bekerja sebelum saya bergabung.”
“Oh ya? Kapan Anda mulai bekerja di sini? Dan bagaimana sejarahnya hingga Anda berada di posisi sekarang ini?”
“Sekitar empat tahunan,” Yunus memikirkan kembali angka yang ia sebutkan. Ia menerawang langit-langit untuk mengingat kapan ia bergabung dalam Citra Finance. “Hampir lima tahun lebih tepatnya.”
Yunus melanjutkan ceritanya. Perusahaan pembiayaan kredit kendaraan bermotor merupakan sektor pekerjaan yang tidak asing baginya. Dirinya sudah terjun berkecimpung dalam industri ini sejak muda. Hampir semua posisi dalam setiap lini bisnis perusahaan pembiayaan pernah diembannya.
Ia meniti karir dari bawah sebagai seorang penagih angsuran. Karirnya meningkat hingga diangkat menjadi supervisor penagihan, lalu kepala marketing hingga menempati posisi kepala cabang. Yunus berpindah perusahaan saat Citra Finance menawarinya jabatan sebagai pimpinan di cabang Yogyakarta.
“Mengapa Anda mengambil pekerjaan tersebut? Bukankah di perusahaan lama, posisi terakhir Anda juga sebagai pimpinan cabang?” Ayu Widya menginterupsi.
“Pada saat interview dengan dewan direksi, mereka menyanggupi syarat untuk tidak memindahkan saya ke cabang lain selama kinerja tahunan terpenuhi. Fasilitas ini tidak saya dapatkan di tempat lama. Di sana saya harus bersedia ditempatkan di manapun sesuai kebutuhan perusahaan. Saya sudah tidak punya tenaga untuk berpindah-pindah kota seperti waktu muda dulu. Terlebih di sini saya sudah memiliki keluarga dan juga rumah tinggal.”
Ayu Widya mengangguk paham. “Lalu saat Anda bergabung, Ratu sudah menduduki jabatan seperti sekarang?”