"Aaaa!" Jeritan para gadis membahana di udara.
Sontak kepalaku mendongak ke atap gedung. Bunuh diri! Seseorang terjun dari atas sana. Bergantung pada katrol, ia luncuri seutas tali. Tubuhnya menukik tajam, bak skydiver menembus udara dengan kecepatan tinggi. Melaju, melesat diagonal, dan seketika itu pula, ia lipat kedua tangannya ke muka, bersiap melandas ke bumi.
"Ceeeeeees ... braak!"
"Gila!” Mataku terbelalak.
Penerjun itu pun mendarat. Tubuhnya terpental, beradu dengan matras hitam. Debu-debu di bawah kasur busa berhamburan. Tiba-tiba, sekawanan lelaki berlari mengerubunginya. Dengan cekatan, mereka lucuti tali yang membeliti badannya. Seketika, sang penerjun itu bangkit, melangkah santai ke tengah lapangan, sembari membenarkan letak bandana hijau di kepalanya.
“Siapa mau coba?” tawar perempuan ikal dengan corong elektronik di depan mulutnya.
Adrenalinku mengalir deras, menggenangi bilik-bilik jantungku yang berdegup kian kencang. Aku bangkit dari duduk. Kulangkahkan kaki dengan pasti. Kuterobosi jajaran murid-murid baru yang tengah berdiri. Di muka barisan, kupasang tatapan tajam, lalu kulesatkan telunjuk, tegak lurus menusuk angkasa. Ingin kurasakan atraksi flying fox mereka yang gila!
“Nantang, kau, kerempeng?!” sentak seorang pemuda. Ia pun menghampiriku. Tiba-tiba saja tangannya melesat, memiting leherku.
“Aku mau coba!” tegasku.
Ia mendengus sembari menyunggingkan bibirnya sebelah.
“Ayo!” ajaknya dengan semangat tinggi.
Seketika ia tarik pergelangan tanganku, menyeretku ke tengah lapangan. Berdua, kami berlari membentari gedung SMA 4 Malang. Dengan langkah terburu-buru, kami masuki lorong gang, dan berbelok ke kanan melewati bangunan kuno berdinding kerikil dan beling. Kami daki tangga ke lantai dua, lalu kami lintasi koridor sekencang kuda.
Masuk ke dalam kelas, kelompok pemuda slengekan menghadang. Penampilan mereka amburadul, bak preman pasar. Seenaknya saja mereka duduk-duduk bertengger di kosen jendela kelas! Di ujung, pemuda bercambang tebal menoleh, menyapaku dengan tatapan mata tajam.
“Hei!” sapanya garang, dagunya congkak menantang, “Siapa, kau?”
“Ilkin, Mas!” jawabku.
Ia duduk bercangkung di bibir jendela, sembari mengusap dagunya perlahan. Ia pun lompat, menghampiriku dengan muka menantang, lalu berputar mengitariku. Kepalanya geleng-geleng mengamati posturku dari jempol kaki hingga jidat sejeli mesin scanner.
“Sepatu jebol, tas karung glepung, kaubilang namamu Ilkin?” Nafasnya menyembur-nyembur ke mukaku. Baunya sebusuk campuran aroma rokok dan ciu. “Kerempeng!”