Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #2

Diklat

Januari, hari kelima belas tahun 2003. Bulan-bulan ini, mega-mendung enggan berhenti bergelayut. Langit akan terus menumpahkan seluruh muatannya hingga mendekati pertengahan tahun. Bumi diaduk banjir, dilipat longsor, diamuk badai, dan di atas sana, langit bertabuh guntur. Tapi, justru saat-saat inilah cecunguk liar itu menjadikan diri berkuasa. Seperti palu menempa bilah-bilah besi. Kamilah besi-besi itu.

Sudah satu semester kami tenggak teori-teori bertualang. Hari ini, sebanyak itu pula yang kami praktikkan. Di pedalaman isolasi hutan, kesulitan menjadi berlipat. Kabut mulai turun merayapi lembah, mempersempit jarak pandang. Kami disorientasi medan.

“Ayo, ke mana lagi?” Risman nampak kebingungan. Berulangkali kepalanya celingak-celinguk, mencoba mencari celah jalan keluar dari semak belukar.

Kami berempat duduk di dasar cerukan besar. Kami hamparkan selembar peta kontur dengan sebuah kompas prisma di atasnya. Telunjukku mengurut goresan pensil yang berkelok pada peta, tanda rute yang telah kami lalui. Namun, sebelum garis itu selesai pada tujuannya, goresan itu terputus dan hilang arah. Kami mereka-reka letak koordinat lokasi kami saat ini.

“Tak yakin aku dengan koordinat kita sekarang,” ujar Devi yang diliputi keputusasaan.

“Nyasar jelasnya!” timpal Risman.

“Perhitunganmu salah, Man!” sela Devi.

“Apanya?”

“Kausamakan saja waktu tempuh kota dengan di gunung ini! Jelas beda jauh di peta!”

Jarak dan perhitungan waktu menjadi krusial. Keduanya menentukan sebuah goresan kecil berikutnya pada peta. Melenceng sedikit, fatal akibatnya. Jurang-jurang ratusan meter menganga. Siap menelan siapapun yang gegabah. Belantara pun dipenuhi jalur-jalur babi hutan yang menyesatkan. Berkali-kali, kami saksikan jejak babi sebesar kaki kerbau, lengkap dengan sarana berkubangnya. Bukan main-main, mungkin terjangannya mampu merobohkan pohon sebesar pipa talang.

“Tenang! Toh, cerukan ini juga tanda alam. Lihat baik-baik di peta!” Jari tengah dan telunjukku tertuju pada dua tempat berdekatan.

“Jadi, apa keputusanmu, ketua suku?” tanya Risman.

“Tetap. Kalau jalan lurus lalu belok ke kiri, kita akan menuju arah barat, mendaki lereng ini.” Telunjukku menarik garis semu di permukaan peta. “Kita pasti akan sampai!”

“Ayo! Jangan lama-lama di sini. Aku mulai kedinginan!” keluh Devi.

Tas yang tergeletak di rerumputan, kembali kami angkat. “Cees!” Begitu rasanya saat tas menyentuh punggung. Dingin. Padahal, itu hanyalah keringat yang telah melebur dengan suhu gunung.

Kami berbaris, berjalan seirama. Aku merambat pelan di posisi terdepan. Sesekali tertunduk pada ayunan jarum kompas yang bergoyang. Aku berusaha berjalan stabil, mengurangi goncangan jarumnya. Setiap dua langkah sekali, sempritan Devi menjerit-jerit. “Prit! Prit! Prit!” Risman tetap bertugas menghitungi setiap pekikannya yang menusuk-nusuki gendang telinga.

“Lereng sebelah kiri di depan kita makin terjal. Kita melenceng dari sasaran!” tukas Bowo.

Aku tak peduli. Yakin, jalan ini pasti benar. Aku terus mengurut langkah, lurus, selaras mata kompas. Semuanya membuntutiku.

“Hooooi!” teriakan seseorang. Sepertinya dia di atas sana. Sesaat, suara samar itu muncul lagi, “Ngawur! Depanmu jurang!”

 Aku melongoki lereng. Tepat di sebelah pohon cemara, sesosok orang duduk di atas batu. Dia bersembunyi di balik pohon besar itu sejak tadi, mengawasi gerak-gerik kami. Kaosnya pun sama dengan milik kami. Seluruhnya hitam. Kecuali, lengan panjangnya yang berwarna oranye polos. Di tambah scarf oranye yang melingkar pada lehernya itu, sudah pasti, dia salah seorang penggembleng.

“Balik! Ada jalan naik!” Ia lambai-lambaikan tangannya.

Bowo ternyata benar.

“Lewat sana!” Telunjuknya mengarah pada semak belukar yang lebat.

 Kami terseok-seok mendekati lereng. Tangan-tangan kami sibuk menyingkapi tumbuhan rubus yang berduri. Sambil menembus rintangan, sesekali kupetiki buah oranye masamnya.

Di depan kami, sebuah jalan kecil menyerong ke atas. Permukaannya samar, seakan rumput itu baru saja terinjak-injak. Barisan rerumputan yang rebah itu kami daki perlahan. Sesampai bertemu jalan setapak, kami disambut muka garang sambil berkacak pinggang.

“Bagaimana kalian bisa tersesat?!” sergah sang penggembleng, “Apa malas baca kontur alam pada peta kalian?”

 Dialah pemuda bercambang yang menggantungku di atas jendela dahulu. Kharismanya mengerikan. Dengar-dengar, ialah anak yang paling disegani di sekolah. Pemuda garang ini membabi buta! Jagoan! Meski demikian, ia tergolong jenius di kelasnya. Nilai tertinggi fisika dan matematika, selalu saja ia yang embat. Sebutannya terkenal, Ucup Cambang, seingatku.

“Diklat ini bukan main-main. Salah langkah, nyawa resikonya!”

Kami diam tersadar. Tak seorangpun berani bersahut.              

“Ambil posisi satu set!”

 Satu set. Hukuman ini kami tenggak sejak awal perkenalan dengan mereka di sekolah. Tak ada tawar-menawar lagi selain push up, sit up, dan back up. Masing-masing sepuluh kali.

“Tunggu! Semua salahku. Itu bagianku!” ujarku.

“Tongki!” Risman berusaha menarik kata-kataku.

Tanganku menyergah tubuhnya.

“Baik, kalau itu maumu .…” Ucup Cambang mengangguk tegas, “Empat set!”

 Semuanya menyingkir, memberikanku tempat untuk menjalani hukuman. Di atas jalan setapak yang sempit itu, kulepas beban pundakku.

“Hei, siapa yang suruh lepas?!”

Kuambil posisi push up. Tubuhku sejajar jalan setapak yang tertutup guguran daun dan bebatangan perdu. Beban dua puluh kilogram masih lekat di punggungku. Tumpuanku terbebani massa berlipat-lipat.

“Satu!”

Hitungan pertama, tubuhku berayun, kemudian kembali melambung dan diam di titik tertinggi. Kutunggu-tunggu hitungan kedua, demikian lama.

“Dua!”

Kurang ajar! Aku benar-benar dipermainkannya. Jeda hitungan itu membuatku boros tenaga. Tubuhku kejur di gerak kelima. Kesepuluhkalinya, tanganku bergetar, dadaku kaku. Tak sanggup lagi mengangkat beban dan tubuhku. Jika lima hari saja terus-terusan seperti ini, aku langsung jadi body builder.

“Lima belas!”

Seluruh tubuhku mengejan. Otot tanganku kejang-kejang, tak berdaya lagi. Aku telungkup di tanah.

“Ah, buang-buang waktu saja, kau!” sesal Ucup, “Ayo, semua, ikuti aku!”

*****

               

Dua puluh dua orang berbaris, dihimpun beratapkan rerimbunan hutan. Sejauh pandangan, hanyalah perdu dan kanopi cemara gunung. Meski musim hujan, tanah pijakan mengesat, karena tertutup dedaunan jarum yang rontok tertikam angin. Hampir sama seperti rontoknya mental kami. Sudah dua hari, psikologis dan fisik kami diuji oleh para penggembleng. Tak satupun di antara mereka memasang wajah manis. Mimiknya pedas, kecut, atau tengik, sudah tak ada bedanya lagi.

“Lepas tas kalian!” Suasana riuh bersahut-sahutan.

Lihat selengkapnya