Bapakku, pegawai negeri papan bawah. Bukan, rahasia lagi, kawan. Para pegawai papan bawah itu, hidupnya tambal-sulam. Tengah bulan, mereka akan rakus membeli kebutuhan pokok dengan berhutang koperasi pegawai. Ujung-ujungnya, euforia sembako itu harus diganjar di awal bulan dengan struk gaji belang. Pernah suatu ketika aku tak percaya. Namun, akhirnya kulihat sendiri struk yang tertera: Rp. 30.000,-.
Ibuku lebih kreatif. Beliau mahir membuat kue-kue tradisional. Pulang sekolah, aku seakan semedi di dapur, berjam-jam membantu ibu membuat adonan. Dan, kalian tahu, kawan? Membuat adonan nagasari itu setara berlatih barbell setengah kwintal satu tangan. Adonannya liat. Mengaduknya di atas wajan, sungguh berat! Esok harinya, kue-kue itu dijajakan mbak-ku ke toko-toko.
Aku sendiri bekerja serabutan. Teman-teman kampung akan lekas mengabariku jika ada proyek pembangunan. Karena tak semahir tukang bangunan profesional, di sana, posisiku tak lebih sebagai posisi kacung gali tanah, kuli angkat batu bata, jelagra, atau bekerja sesederhana mengecat tembok.
Namun, ada yang lebih prestisius lagi, tukang rombeng. Ini salah satu bentuk wirausaha, kawan. Di sekolah, kuhubungi teman-teman yang berlanggangan koran atau penimbun kardus. Kutunggu beberapa bulan. Jika sudah menumpuk, koran-koran bekas itu kubeli, lalu kurombengkan.
Semua itu atas nama penghematan dan pengorbanan untuk ilmu. Aku rela. Dan kini, setiap hari, kutempuh jarak belasan kilometer ke sekolah dengan kaki. Kutembusi hujan, kuterobosi asap-asap kendaraan dengan berlari. Lari, lari, dan berlari. Aku semakin cinta berlari.
Namun, semakin lama menjelajah jalanan, semakin kutemukan kenyataan-kenyataan pahit. Langkah lariku selalu terhenti di sebuah ujung trotoar jalanan aspal. Di seberang sana, duduk termenung seorang laki renta. Hitam, kusut, tirus. Aku penasaran.
*****
Jalanan aspal kuyup diguyur hujan deras. Tanah-tanah basah, tumbuhan dan rerumputan melepaskan senyawa kimia. Seluruh rongga dadaku dipenuhi uapan petrichor. Aromanya sewangi kasturi. Aroma yang muncul saat hujan pertama kali turun setelah didera kemarau panjang.
Bel akhir jam pelajaran melengking bertalu-talu, menggema hingga beberapa radius puluhan meter. Biasanya kuhabiskan sore bersama teman-teman bermain bola di lapangan, atau bergelantungan di atap sekolah. Tapi, kali ini aku terpekur tentang lelaki renta di pinggiran trotoar.
Aku menghampirinnya. Lelaki itu masih tetap tertancap di tempat biasanya. Baju-baju kusutnya yang basah dibeberkan begitu saja di di teras bangunan café diskotek biru laut yang tak beroperasi siang hari. Di depan bangunan itulah lelaki renta itu duduk meringkuk.
Aku mendekat perlahan. Tak jauh dari enam langkah, terlihat tangan-tangan keriputnya menarik beberapa bungkusan kertas minyak dari dalam buntalan kantung hitam. Langkah kujaga betul, hampir mengendap-endap. Tanpa sepengetahuannya pula, aku mengamatinya dari samping. Dengan tangan yang bergerak lambat dan kurus rapuh itu, ia hamparkan tiga kertas bungkus cokelat mengkilap berjajar satu persatu. Rupa-rupanya, dia mengumpulkan bulir demi bulir nasi bungkus sisa makanan dari tong sampah dalam satu hamparan. Dengan ganas dia lahap nasi-nasi sisa itu di mulutnya.
Seakan sebuah batang tombak mengganjal dadaku. Matanya yang meratap pada nasi sisa itu menusuk hatiku. Apakah sepanjang sejarah hidupnya, ia terombang-ambing di jalanan yang kasar dan keras ini?
Brrrrrrmmmmm … Craaaaashhh!
Mobil sedan BMW silver melesat di atas genangan air sepanjang jalan di sebelah kami. Aku tersiram. Air itu pula muncrat, mengguyur seluruh tubuh orang tua itu, dan mendarat di atas makananya.
“Kurang ajar!” Hatiku menggelegar.
Darahku mendidih karena keangkuhannya. Iba dan murka bercampur-baur menjadi satu. Amarahku meledak-ledak. Ingin ku timpuk kaca sedan itu dengan batu.
Tapi tunggu. Lihat, apa yang dilakukan orang pinggiran itu? Pasrah. Ia hanya menghapus noda cipratan di wajahnya itu dengan baju kusut yang menempel di kulitnya. Lalu, ia telan lagi nasi-nasi kadaluarsa yang basah oleh cipratan itu dengan terpaksa. Tiada sumpah serapah terlontar dari mulutnya.
“Pak …,” sapaku.
Kulipat lutut-lutuku, duduk bersila dengannya di atas paving yang basah. Belum rampung sepenuhnya dia makan, lekas dia bungkusi lagi nasi itu. Nampaknya segan, dimasukkanlah kembali makanan itu pada salah satu dari tiga kantung hitamnya. Aku melirik, ternyata kantung-kantung itu berisi gelas dan botol plastik.