Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #4

Hari Bumi

Ucup Cambang tak seberingas kukira. Tanpa perlu memanggil sebutan mas, abang, atau kakak, “Panggil ‘Ucup’ saja, biar akrab!” katanya. Sepulang sekolah, ia selalu mengakrabi sebuah pot tanah liat di depan markas pemuda alam itu. Setangkup tanah dibiarkan mengeras. Tumbuhan mungil setinggi kelingking tertancap di atasnya.

“Setahun setengah kupelihara Vaccinium varingifolium ini,” ucapnya tiba-tiba, “Kau tahu hasil yang kuperoleh dari risetku ini?”

Kugelengkan kepala. Nama latin pohon itupun juga pertama kali kudengar. Tapi samar, seakan aku pernah melihatnya. Entah di mana.

“Sebelum kubawa ke sini, di ketinggian tiga ribu meter sana, daunnya bulat tebal, warnanya hijau gelap,” ujarnya sambil mendaratkan sikunya ke atas pundakku, “Sekarang perhatikan betul perubahan fisiknya!”

Kuurut bilah daunnya. Tipis, lonjong, memanjang dari pangkal hingga ujungnya. Hijau muda daun tuanya. Mendengar bahwa dia hidup di ketinggian itu, aku ingat jenis pohon yang dapat tumbuh lebih dari dua meter itu.

“Mentigi, Cup?” tanyaku penasaran.

Ucup tersenyum sambil mengangguk. Ia perlihatkan gigi-gigi seputih buah salaknya.

“Kukira, ini tidak akan tumbuh. Daun-daun lamanya semuanya rontok. Setelah beberapa minggu, tumbuhlah daun-daun tipis itu,” jelasnya.

Inilah yang ingin kutunjukkan pada Ibu Ariyanti sejak dahulu. Teori Franz Wilhelm Junghun memunculkan sebuah paradoks, bahwa di atas ketinggian 2500 meter di atas permukaan laut, masih ada pohon yang tumbuh hingga lebih dari dua meter. Inilah pohon itu. Mentigi.

“Cup, boleh kupinjam pohon ini?” pintaku sambil meringis, “Mau kutunjukkan pada Bu Ariyanti.”

Ucup tersenyum. Lalu ia kibas-kibaskan telungkup tangannya.

“Aaahhh ... ambil saja!” sodornya.

Aku bergegas turun ke ruang guru. Mumpung masih istirahat pikirku, aku ingin sekali berdiskusi tentang pohon ini dengan bu Ariyanti. Kepalaku celingak-celinguk, di ruangan ini hanya ada dua orang guru perempuan memakai baju krem kehijauan. Pas sekali, kulihat, bu Ariyanti sedang duduk tertunduk sambil membaca surat kabar harian.

"Bu Ariyanti!' panggilku, seketika ibu guru berambut ikal itu melihat ke arahku.

Aku mendekat ke mejanya yang berselimutkan kain hijau. "Ada yang ingin saya tunjukkan ke Ibu. Permisi ...." Aku duduk di kursi menghadap Ibu Ariyanti.

"Apa itu, Kin?" tanya beliau.               

"Aku ingat pelajaran Ibu, kata Junghun, di atas ketinggian 2500, tidak ada pohon lagi, Bu? Tapi saya lihat masih ada beberapa jenis pohon yang tumbuh di atas sana. Ya meskipun sedikit, Bu. Tapi ini salah satunya, mentigi. Buahnya kecil-kecil sekali, Bu, meski rasanya biasa saja dan tidak umum dimakan," jelasku.

Bu Ariyanti tersenyum, sambil melepaskan kacamata frame warna emasnya, wanita bermuka tirus itu mengambil pot dan mengamatinya.

"Kin ...," ucapnya, "Mungkin kamu lupa, yang saya jelaskan beberapa minggu lalu. Junghun berpendapat, kalau tumbuhan yang tidak dapat tumbuh di ketinggian itu adalah tumbuhan yang dibudidayakan oleh manusia."

"Eeeh?" Aku terheran, mungkin pada bagian penjelasan itu aku sedang melamun tentang gunung. Ya, aku ingat sekarang! Presentasi Bu Ariyanti itu memang terpotong, saat aku mengingat-ingat pohon apa saja yang tumbuh pada ketinggian itu.

"Ya kalau begitu, mari kita budidaya pohon ini di gunung, Bu ... mumpung belum ada orang yang budidaya," kataku sambil meringis. Tubuh Ibu Ariyanti berguncang, tertawa kecil.

"Tapi terima kasih, info ini bagus sekali," ujarnya.

****

Lihat selengkapnya