Kami berlima. Sepupu Ucup, Nur, yang berwajah bulat telur sebayaku itu menggenapi personil grup menjadi enam kepala. Yang ku dengar dari Ucup sendiri, ia mulai mendaki sejak SMP. Jam terbangnya jelas jauh di atasku.
Di pos perijinan pendakian Gunung Arjuna, kami melaporkan diri untuk mendaki. Petugas muda itu mencatat dan menarik para pendaki gunung dengan retribusi. Kemudian disodorkannya sebuah buku catatan lusuh kepada kami. Ucup bertanda tangan di atas lembarannya. Kutelusuri kertas yang telah mengeriting itu, hanya tiga kelompok saja yang mendaki hari ini.
********
Permadani hijau terbentang di atas tanah berbatu. Daun-daun teh kuyup tersapu kabut. Tiada hiruk-pikuk aktivitas penduduk menjelang sore ini. Hanyalah suara langkah-langkah kami menapaki runcing bebatuan. Di atas permukaan bebatuan yang berjejal, ku toleh, Dede berjalan tersaruk-saruk di nomor urutan paling belakang. Sementara aku nomor dua dari depan, melangkah terbata-bata. Sesekali mukaku menggerising, mulut berdesis menahan perih di telapak kaki.
Kami menyusuri hutan lamtoro yang akar-akarnya menyeruak menembus muka tanah. Belum apa-apa, Dede mengeluh. Tiba-tiba dia ambruk.
“Hhhh … hhhh … hhhh!!” Nafasnya kembang-kempis, mukanya lesi, “Hancur, remuk punggungku!”
“Baru saja tiga kilo, kau sudah mengeluh!” Effendi melengos.
“Kurangi barangmu, sini aku bawa!” Sambil membuka tas Dede, Ucup meraba-raba sesuatu di dalamnya. Ia temukan sesuatu di dalamnya.
“Oooo, ini apa yang berat!” Ucup mengangkat sebuah botol bening satu liter air jahat, Dede meringis.
Kawan-kawan nyengir.
“Pendaki botol! Kau niat mendaki atau dugem?!” ketusku, “Sembunyikan di sini! Nanti kalau kembali pulang, kaubuang ke tong sampah!”
Dede menyerah. Sambil tersenyum kecut, akhirnya dia sembunyikan botol air jahat itu di bawah kayu roboh berlumut. Menyelip ke dalam belukar.
Di padang rumput pos kedua, kami berhenti. Masih saja dia berjalan pontang-panting paling belakang. Ilalang berdesir mesra, dibelai oleh angin yang berhembus. Kami berdiri menikmati suasana ini, meski langit menghitam lesu.
Aku tengadah ke angkasa. Awan-awan rekah berlari terburu, kencang, kemudian melebur dan mengelabu pada suatu titik di atas sana. Semakin mendekati titik itu, gradasinya menjadi pekat seirama. Hitam, melayang, menggelantung penuh bobot muatan.
“Badai!” Sembari tengadah, aku mereka-reka, “Gawat, nimbostratus, Cup! Di puncak, hujan lebat, cuaca buruk!”
“Ssst! Diam!” Ucup menatapku dingin.
Ilalang riuh berdesir di atas hamparan padang rumput. Bisikannya menyertai degup jantung yang bersahut-sahutan. Bertalu-talu menyertai irama langkah-langkah kaki kami. Mungkin matahari hampir tergelincir kisaran sejengkal saja. Kami terus meniti jalan menanjak. Sebisa mungkin tak sampai kemalaman menuju pos ketiga, Mahapena. Ucup berjalan terdepan, Aku tepat di belakangnya.
Langkahnya pelan, tapi pasti. Aku teringat onta yang tengah menyusuri padang pasir, berjalan sambil mengusung perbekalan khafilah. Selama berjalan, kami masih dapat berbincang, meski sedikit menahan nafas ngos-ngosan. Kamipun jarang berhenti, apalagi duduk santai.
“Jalan kita pelan, tapi kok dapat menyalip beberapa grup yang lebih dulu berangkat ya, Cup?” tanyaku penasaran.
“Mendaki dengan beban banyak seperti ini, yang penting itu jalannya konstan, sedikit berhenti, menyesuaikan kemampuan ritmenya sendiri. Itulah kuncinya!” timpal Ucup, “Tak perlu tergesa-gesa, forsir tenaga.”
Aku mengerti. Alasan itu masuk akal.
“Kau mendaki seperti ini, belajar pada siapa, Cup?”
“Pengalaman saat ikut mendaki bersama Pa’e,” kata Ucup, “Nantilah kukenalkan kau padanya, sang legenda gunung itu!”.
********
Petang menghadang di atas perbatasan hamparan alang-alang dan cemara hutan. Perjalanan berujung pada bilik tak bertuan. Di sudut sebuah perhentian di pinggir jalanan, kami melihat sebuah reruntuhan bangunan kayu lapuk yang tak lagi berbentuk. Atapnya runtuh begitu saja di atas tanah. Sementara terpal biru sebagai pelindungnya telah tercabik-cabik, entah oleh angin atau oleh waktu seiring pergantian umurnya.
Kami membuka tenda dan memasak di sudut tanah lain yang berhadapan dengan sisa-sisa pos Mahapena itu. Perut sudah tidak dapat lagi diajak berkompromi. Bergegas Effendi menyalakan kompor kupu-kupunya yang berslang. Tak bosan-bosannya kami memasak menu klise: tujuh bungkus mie berenam.
Di malam dingin itu, telapak kakiku mengkerut, basah terendam keringat yang deras mengalir sepanjang perjalanan tadi. Sejak di pos perijinan tadi hingga sekarang belum kubuka kaki kanan berbuntal kresek itu. Walau ngilu rasanya ketika beribu-ribu langkah tadi kuinjak batu kerikil, tak ingin kubuka buntalan tersebut. Entah apa yang terjadi pada jahitan itu. Aku tak ingin melihatnya. Aku bersugesti bahwa aku baik-baik saja.
“Kawan, ingat tentang cerita-cerita Asmujiono mendaki Everest kemarin?” kata Ucup.
“Asmujiono?” Dede heran, seperti baru-baru ini saja mendengarkan nama itu.
“Sampai sekarang kau belum tahu tentang Asmujiono? Wong Malang iki, ker!” heran Effendi.
“Asmujiono, anggota TNI yang berhasil ke puncak Everest. Dia berhasil mengibarkan bendera pertama Indonesia di puncaknya. Dua minggu kemarin, dia diundang mengisi seminar di Aula SMA Tugu,” kata Effendi.
“Makanya sering ke markas. Ke mana saja kau ini, De?!”
Dede meringis. Mungkin tersadar, di sini hanya dia saja yang tidak aktif berorganisasi.
“Asmujiono berangkat bersekolah berlari puluhan kilometer setiap pagi,” kataku penuh kekaguman.
“Kitapun punya seseorang yang serupa dari Generasi Kantata kita. Jangan lupa!” sambung Bowo.
“Mas Dani, pendiri organisasi Kantata kita juga berlari dari rumah ke sekolah. Ia juga sampai mendaki salah satu puncak tertinggi dunia,” kata Effendi. Tangannya tak berhenti membuka-buka bungkusan mie instan untuk di masak.
“Caranya, Cup?” tanya Nur.
“Ya, dia ambil kuliah antropologi di Universitas Cendrawasih, Papua. Kesempatan mendaki gunung tertinggi Indonesia, ndak dia sia-siakan.“
“Pasti maksudmu Carstenz Pyramid?!” seru Nur.
Ucup mengangguk.
“Masih satu gunung! Di luar sana masih ada enam lagi puncak tertinggi yang mewakili setiap benua: Kilimanjaro, Elbrus, Aconcagua, Everest, Denali, dan Vinson,” sambung Ucup.
“Dan kau, Tongki!” Ucup tajam memandangku, “Kauwarisi semangat Asmujiono dan Mas Dani. Berangkat sekolah kau juga berlari. Kuharap, suatu saat, kau akan mendaki puncak-puncak tertinggi itu!”
Mendengarnya, kebanggaan merasuki jiwaku. Semangatku berdesir, meluap, membangkitkan mimpi-mimpiku. Aku sekarang lebih percaya diri, karena kata mustahil itu tidak ada selama kita mau mencoba.
“Sebentar lagi, akan kudaki salah satu dari keenam itu!” tukasku.
“Haha ... kau pendaki karatan! Carrier, tenda, dan jaket saja kau pinjam-pinjam! Bagaimana caramu untuk ke sana?” ketus Bowo.