Deru dan kabut melebur, membentur dinding-dinding bumi yang begitu digdayanya menjulang ke atap angkasa. Kemelut awan menyelubungi pagi. Kami terjebak di ketinggian tiga ribuan meter. Suara angin berkecepatan tingginya masih ganas, membungkam hasrat kami yang ingin manggapai puncak. Mental kami telah terhempas jatuh ke dalam jurang-jurang sudut lain gunung ini. Keberanian kami mendaki ke puncak dikuliti oleh waktu. Sementara, hipotermia ringan meradang. Muka kami pucat, tubuh bergidik kedinginan.
Effendi duduk di pojok, menyelip-nyelipkan kepalanya keluar-masuk di antara celah reseleting tenda. Berkali-kali itu pula wajahnya masam, mulutnya menyungging, kemudian menggeleng-gelengkan kepala: berarti tanda badai kabut tak kunjung reda. Dia dan Ucup sejak bangun tadi sibuk dengan kompor yang tak kunjung menyala. Hingga hari ini, kami hanya makan reremahan mie instan kering dan biskuit keras miliknya. Hampir copot gigi rasanya, saat mengunyah biskuit ransum yang harusnya diseduh air panas terlebih dahulu. Namun apalah daya, terpaksa tetap minum air “kulkas” di pagi sedingin ini.
Rencananya, jika ada celah semenit saja hujan badai berhenti, mempersilahkan kami untuk kabur, sesegera mungkin packing, lalu turun gunung. Pilihannya memang hanya dua: nekat turun atau terbujur kaku di sini untuk selamanya. Sebelum beranjak langkah kaki seribu, aku akhirnya memberanikan diri membuka buntalan kresek hitam yang membungkus kakiku. Yang lain juga penasaran, mereka sama sekali belum pernah melihat jahitan itu.
“Uuuuuugghhh!” Aku lemas. Kulihat, daging telapak kaki menganga, baunya amis, pucat bernanah. Jahitannya banyak yang telah putus. Hanya dua utas tali saja yang tersisa. Rasa perih semakin menjadi-jadi setelah melihat luka itu.
Tak lama kemudian, hujan sedikit reda. Namun angin masih tetap saja berkeliaran dengan kecepatan tinggi. Effendi seperti biasa, mengobservasi medan.
“Ayo ayo ayo!” gopohnya, sambil membuka reseleting tenda lebar-lebar memperlihatkan kesempatan sempit itu.
Kabutpun sesaat tersingkap. Kami dapat melihat jelas beberapa kilometer ke bawah dari tanah bebatuan tandus ini. Hutan cemara jauh terlihat di ranah timur sana. Namun, di atas kami, cuaca masih pucat.
Seluruh barang kocar-kacir, terlempar ke luar. Kami tergopoh menggulung tenda, melipat pakaian, dan memasukkan segala perabot kami dengan awut-awutan. Kami tahu, tersingkapnya kabut ini tak akan lama. Jauh di ufuk sana masih menghadang tembok putih raksasa. Sementara badai tak kunjung reda.
Sekali lagi, Ucup menghampiri satu-satunya tenda tetangga. Lalu kembali.
“Mereka susul!”
Tanpa kata, kami mendugas, meninggalkan tempat berbahaya itu. Tak satupun dari kami berpikir tentang asa, bahwa puncak adalah segalanya. Ucup dan Nur di depan. Mereka berlari pontang-panting diganduli tasnya yang besar. Di belakang, terdengar nafas megap-megap Effendi dan Dede. Akupun lari, berjengket, terpincang-pincang menembus semak. Aku sudah tak peduli lagi apa yang terjadi pada kakiku. Misi utama kami tak ada lagi selain kembali pulang.