Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #8

Suparman

Makhluk paling ganas di sekolah itu tak lain adalah Wak Parman. Parman baplang. Ia adalah ujung tombak punggawa ketertiban sekolah. Matanya selalu berkedut-kedut jika bertemu para siswa ekspresionis. Kukatakan ekspresionis, memang jiwa muda kadang meletup-letup, tak tentu arah, dan kadang berjalan tak selaras dengan kaidah yang berlaku.

Biasanya, razia ketertiban sekolah itu selalu terendus. Hari, jam, dan rute penertiban itu bocor sampai telinga para siswa. Kejadian hari ini sungguh tak terduga. Di kelas, sesosok pendekar, pendek-kekar, mengetuk pintu sebentar, dan tanpa sungkan, ia tiba-tiba memasuki kelas, menerobos seperti badak.

“Mati aku!” Aku kenal persis pria berkumis sapu ijuk itu.

Kawan, hari ini, tamatlah riwayat seluruh siswa ekspresionis. Jika siswa berkuku panjang masuk kelas, maka ia akan keluar dengan jari lebam setelah kunjungan manusia horor itu. Celana bolong dengkul ala rocker, mungkin akan dipaprasnya setengah. Dan bisa kubayangkan sendiri, rambut gondrongku pasti tandas dihabisinya. Aku beringsut, pelan-pelan terbenam ke bawah kolong meja.

“Letakkan tangan kalian ke atas!”

Suasana kelas semakin lengang. Saat-saat ini, pasti petugas sadis itu sudah mencabut sebilah mistar kayu yang siap dihantamkannya pada jari-jari berkuku panjang. Langkah-langkahnya mengendap sayup. Tapi, anehnya sama sekali tak terdengar tulang dan kayu bertumbukan.

“Nihil! Siswa ekspresionis memang sudah langka!” gumamku.

Di balik kaki teman sebangkuku, celana coklat tanah bersepatu pantofel hitam itu berhenti. Aku semakin mengerut. Sulit menelan ludah. Aku memang langganan target operasi penertiban.

“Mana teman sebelahmu?”

Dapat kudengar suara cekikian yang tertahan di leher teman-teman.

“Kekekekek ….” Sial! Mereka membuatnya curiga!

Tiba-tiba lutut Wak Parman menekuk. Tubuhnya tenggelam pula ke bawah kolong.

“Lhaaaa!” kejutnya.

“Jdaar!” Spontan tubuhku terlontar. Kepalaku menanduk keras lambung meja kayu. Aku terlonjak melihat berengos lebat yang memenuhi mukanya itu.

“Berengoooos!” teriakku.

Aku keluar dari persembunyian. Lari tunggang-langgang ke muka kelas bak kelinci hutan diasapi liangnya. Ku tengok, Wak Parman pasang kuda-kuda, bersiap melempar senjatanya. “Wuuuuth … bhet bhet bhet!” Pedang kayu itu melayang ke depan. Secara reflek, aku tertunduk. Batang pipih itu terbang, berputar-putar melintasi kepalaku, lalu membentur dinding, “Plaaak!” Nyaris kena! Aku cepat bangkit. Langkahku membias. Aku pontang-panting menuju emergency door. Suasana kelas merakah.

“Gondrooong!”

Aku melejit terbirit. Rambut MacGyverku berkibar-kibar bersinggungan dengan udara statis. Kami kejar-kejaran. Tapi aku tahu, aku unggul. Setiap hari aku berangkat lari ke sekolah. Tiap bulan aku mendaki gunung. Minimal sekali. Aku di atas angin. Tak terkejar. Tapi Wak Parman pantang menyerah. Aku tergopoh, lari berkelok-kelok memapras tikungan, lalu menjadi panik terintimidasi oleh semangat buas berburu kelincinya. Ku terobos lorong gang, keluar menapaki lapangan, dan akhirnya sadar, ini jalan buntu!

Di sudut lapangan basket, aku terjepit. Depanku kantin. Kanan-kiri pagar dan tembok kelas. Kini, aku berhadapan persis dengan salah satu ahli pangkas rumput tersohor di sekolah ini. Sejak dahulu, ia ditugasi petinggi sekolah untuk membasmi para siswa ekspresionis. Aku balik badan. Lagi-lagi pendekar itu menyusulku.

“Ke mana lagi kau, ndrong?!”

Aku pucat melihat matanya yang selalu berkedut-kedut itu.              

Secepat kilat, tangannya menerkam pergelangan tanganku. Tapi tanganku lebih lincah, berayun menghindari sabetannya. Aku mundur, merapat dinding kelas. Seketika itu, aku berbalik lompat menjejak dinding, lututku memegas dan berpantul dari permukaan tembok. Gerakan itu menjadikan lompatanku membumbung lebih tinggi lagi. Inilah teknik ninja. Sebelum ditelan gravitasi, lekas kuraih pinggiran konsol pertama. Kupanjati. Di balik kaca, para siswa terkejut melihatku. Di dalamnya, kelas menggaduh. Ku panjati lagi konsol kedua di atasnya.

“Turun, kau, cecunguk!”

“Cecunguk?” gumamku. Bukankah dahulu kusebut anak-anak yang memanjati dinding ini juga dengan sebutan itu? Aku tersenyum. Tak terasa, sudah setahun lebih aku bergabung dengan gerombolan itu. Bahkan, tanpa keinginan, rapat para anggota sepakat menobatkanku menjadi dedengkot mereka. Bukan main.

Puluhan kepala menyembul ke luar jendela lantai dua, melongok ke arahku. Kupanjati dinding, kumasuki ruangan mereka. Gemparlah seisi kelas. Untungnya, tak ada guru.

“Tongki!”

“Ilkin … kok bisa?”

Epic! Seluruh kepala memperhatikanku. Para gadis terlihat takjub. Daguku terangkat congkak, dadaku berbusung, aku melenggang santai melintasi mereka. Jika saja ini film laga, di latar belakangnya pasti sudah mencuat efek ledakan. Hari ini, hari kemenangan. Kemenangan telak! Masalah sembunyi? Ah, gampang!

Ku buka pintu kelas lebar-lebar, “Krieeeg ….” Di luar, deretan kepala berbalik melihatku. Seketika, mukaku pucat. Ini jebakan! Ternyata, di balik pintu itu adalah lorong pembantaian para berandal. Mereka dibariskan juragan, mengantri pangkas rambut gratisan. Hasilnya? Ada yang dibotaki atasnya, adapula yang di cukur setengahnya saja. Dan lebih mengerikan lagi, di hadapanku tepat, Bu Indri. Sang penghulu ketertiban.

“Anak nakal!”

“Sudah kuberi kau dua kali surat peringatan. Tetap saja kau tak potong rambut!”

Guru berkerudung itu menyeretku turun hingga persis ke tengah-tengah ruang guru. Di ruangan ciut sesak meja, ia hampiri desktop kacanya. Ia buka laci, dan dari sana ia cabut selembar karton. Tangannya melenggak-lenggok cepat, menulis sesuatu dengan spidol marker merah di atasnya: BERANDAL. Ditalikanlah ujung-ujungnya yang berlubang itu dengan pita. Tanpa banyak cincong, benda itu ia kalungkan ke leherku. Dengan sisa potongan pita itu pula, ia kuncit rambutku berdiri-diri tak karuan. Kini aku berkuncung tujuh: samping, depan, belakang. Tapi, tangannya masih saja gemas. Dicukurnyalah bagian rambut belakangku separuh. Dapat kubayangkan, pasti sekarang kepalaku bak ayam ponggok. Buntung ekor!

“Ayo jalan!” Tangannya erat mencengkeram pergelanganku.

 Aku tak berkutik.

“Tapi … tapi ke mana, Bu?”

 Aku digelandang dari kelas ke kelas. Di hadapan mereka, aku didijadikan bahan tertawaan. Seluruh kelas tergelak sebab kedatanganku.

“Inilah contoh berandal tengik, anak-anak!”

“Tindak pantas DI-TI-RU!”

“Ini akibatnya!”

 Aku meringis pasrah. Sanksi psikologis memang benar-benar hukuman berat. Lebih berat daripada dicukur atau surat peringatan pertama yang telah diedarkan kepada orang tua. Di balik gerbang terali di kompleks pojok, aku berhenti. Tubuhku mengeras, menahan seretan Ibu Indri.

“Tidak tidak ….”

“Ayo!” Tarikannya semakin kuat.

Lihat selengkapnya