Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #10

Pak Tua Legendaris

Aku menduga, Pa’e adalah pendaki stereotip. Seperti umumnya seorang penjelajah: angker, bajunya lusuh, celananya sobek-sobek sebab ratusan kali tercakar duri dan perdu habis-habisan. Raut mukanya kasar, sekeras karang. Dan seperti kebanyakan pendaki karatan, rambutnya pun kusut, gondrong serabutan. Aksesoris di tangannya mungkin puluhan lilitan gelang prusik berbandul gigi macan.

Dari cerita-cerita para pendaki gunung kawakan yang pernah kutemui, Pa’e adalah pendaki militan. Gaya pendakiannya adalah kedisiplinan waktu. Jika ia katakan jalan dua jam, maka ya harus dua jam! Tak ada kompensasi untuk berhenti atau duduk santai memandangi alam. Karena tidak ada istilah santai itulah hanya pendaki tertentu yang mau mendaki dengan pak tua satu ini.

Namun, di acara kelulusannya, Ucup Cambang mengajak kami mendaki bersama pak tua nyentrik itu. Dan seperti yang kami impikan sebelumnya, lusa adalah pendakian Gunung Semeru.

*****

 Kami bertiga sampai di depan rumah Pa’e. Nur membuka pagar hitam selebar mungkin. Sekelebat, dia nyelonong, masuk garasi samping rumah yang terbuka tanpa permisi. Kamipun lekas membuntutinya. Di garasi yang tersepuh debu, berdiri mobil Chevrolet LUV tua, usang dan karatan. Atapnya terpasang roof rack.

Di balik mobil, dapat diterawang isi rumah dari jendela kaca transparan. Dengan jelas mataku jelalatan melihat isi geladak rumah yang berlantai keramik putih bersih. Karpet merah beludru terhampar di depan kotak televisi yang menyala-nyala tanpa pemirsa.

Kami berbelok ke kanan, memasuki ruangan lain di sebelahnya. Di sudut ruangan, duduk seorang bapak-bapak berambut cepak. Rautnya bersih, tanpa kumis dan tak sehelaipun jenggot yang bergantung di mukanya. Amat serasi dengan celana loreng tentaranya. Mirip pensiunan serdadu.

Semeja di hadapannya, duduk dua orang pemuda dekil, berpenampilan morat-marit dan gondrong bak rambut jagung. Tubuhnya hitam legam. Nampaknya terlalu sering terlumuri bara matahari saat menjelajah. Nah, satu lagi yang membuatku yakin! Gelang prusik yang melingkar di pergelangan tangan mereka itu bak pangkat militer. Semakin banyak terlilit, semakin tinggi jam terbang. Mungkin, Pa’e adalah salah satu di antara pemuda angker itu. Tak kusangka, ternyata Pa’e adalah seorang pemuda.

Iki arek-arek, Pa’e! Ini kawan-kawan, Pak!” cetus Nur, merujuk pada seorang bapak berambut cepak.

“Lho, Pa’e yang ini? Saya kira salah satu dari mas-mas yang sangar ini,” kataku sembari duduk bersila di tengah lingkaran kelompok itu.

Sontak semua terkekeh di dalam ruangan ini. Tak terkecuali Pa’e yang tertawa lebar, dan bercokolah gigi-gigi ketimunnya yang berjajar rapi itu. Sentakan tawa mengguncang-guncangkan tubuhnya. Tangan kirinya terangkat, lalu ia daratkan sepanjang sandaran sofa.

“Ooo ... jangan salah! Saya dulu tahun 90-an juga gondrong seperti mas-mas ini. Coba lihat di album-album itu!” Mereka tersenyum. Pa’e menunjukiku sebuah tumpukan album di bawah meja.

Kuambil sebuah album persegi bersampul kain merah muda. Mataku menjelajah dari satu foto ke foto yang lain. Benar! Terpampang pada beberapa foto usang, Pa’e benar-benar berpenampilan pendaki stereotip: gondrong ikal, dan tambah lagi, berengos sapunya itu begitu garang. Aku terkekeh. Geli melihat berengos maut itu.

Namun, di halaman selanjutnya, sontak pandanganku lekat pada selembar foto yang membangkitkan estetika dalam diriku. Selembar foto yang menyiratkan denyut emosi alam. Di lembar itu, cahaya matahari menyeruak tepat di atas celah dua bukit kembar yang menjelma siluet penuh misteri. Bias-bias cahaya itu menggesek langit, memberkas bilur-bilur merah muda dan jingga di angkasa. Di bawahnya, awan-awan cirrocumulus tersepuh oleh sinar kuning surya, menjadikannya seperti kerumunan domba berwarna-warni yang berkeliaran di angkasa.

Namun keagungan foto itu tak berhenti sampai di situ. Anehnya, sinar-sinar angkasa itu jatuh menimpa permukaan telaga, lalu terpental begitu saja hingga percikannya mengenai mataku. Sinar yang lompat dari atas telaga, menjadikan foto seolah setangkup harmoni antara cahaya, domba, dan siluet gunung kembar yang betul-betul presisi. Terbelah dua, antara digdaya kerajaan langit dan bumi.

“Ki, Tongki, ayo packing!” ajak Ucup sambil melambai-lambaikan tangannya di kamar pojok.

“Biar dia lihat-lihat foto sampai puas dulu, Cup!” sela Pa’e

“Ini di mana, Pak?”

“Itulah Ranu Kumbolo! Lusa, kau juga akan ke sana.”

Lihat selengkapnya