Lambung Pulau Jawa bergejolak. Pijarnya menggelegak. Menghempaskan gas yang terperangkap di rongga perut bumi. Memuai, meletup-letup, lalu sekuat tenaga, mendobrak katup batuan yang memampatinya. Laksana balon yang terus-terusan terpompa, meletuslah bom vulkanis itu. Milyaran partikel besi, abu, dan hamburan solfatara terlontar, membumbung tinggi, dan menjelma cendawan raksasa berpilar hitam.
Aku dan Nur berdiri di celah punggungan Gunung Ayek-ayek. Terpesona, takjub. Berdua kami tengadah, memandangi wajah Mahameru yang bersembunyi di balik perbukitan seberang. Seolah sekelumit kepalanya yang abu-abu itu mengintip setiap gerak-gerik kami sejak tadi.
Pandangan mataku jauh melompat ke bawah sana. Lembah ilalang menghampar lembut. Laksana permadani beludru bersepuh emas. Matahari masih belum mendaki puncak angkasa. Lesat bias sinar pagi melangkahi lembah itu, dan membiarkan hamparannya tenggelam dalam bayangan bukit yang roboh ke atasnya. Dua tahun sudah, aku bermimpi mendaki gunung tertinggi Jawa ini. Akhirnya, kulihat sendiri. Inilah bentang alam Semeru nan agung dan mempesona itu.
“Kyuu kyuuuu!” lengking Pa’e. Suaranya timbul-tenggelam tersaring rerimbun cemara hutan.
Nur menangkap sinyal isyarat itu. Sigap ia balikkan badannya yang kurus, namun keras itu. Punggungnya basah, berlumur keringat. Wajahnya kesat, berbedak debu kelana. Begitu pula aku. Hampir dua jam kami terus menanjaki terjal Ayek-ayek tanpa henti. Hingga berujung di celah bak gapura ini, kami berhenti.
“Kyuuuu!” kode balasan Nur. Kedua tangannya mengatup bak corong TOA.
Langkah kilat Pa’e ternyata hanyalah mitos. Seolah, pak tua itu dapat berjalan melipat bumi. Tak benar. Namun, semua yang kujumpai hari ini seperti kata Ucup: langkah konstan - hemat tenaga. Konstan menurut ritme masing-masing pendaki. Inilah yang diajarkan oleh Pa’e pula sejak dahulu padanya. Kendati demikian, ritme alami Nur memang lebih cepat. Dia selalu terdepan. Sementara aku pontang-panting berusaha lekat di belakangnya, tak mau ketinggalan.
Tak lama, muka-muka yang kami kenali muncul.
“Brugh!” Seketika, tubuh kedua orang itu ambruk, bersandar pinggir gundukan tanah.
“Masih jauh, Pak?” tanya Subur ngos-ngosan. Wajah tembamnya pias, berpeluh. Sesekali ia sibakkan rambut sebahunya yang seolah telah tercelup keringat.
“Lihat, itu!” tunjuk Pa’e jauh di ujung daratan bawah sana, “Setelah sabana itu, Ranu Kumbolo. Kita makan siang di sana.”
“Ayo, lanjut!” pungkas pak tua itu.
Tak lama mengendap di ujung celah, kami angkati muatan sepertiga berat tubuh itu, lalu bertolak turun ke lembah. Beriringan, menyusuri jalan yang menyabuki pinggang perbukitan. Kami daratkan kaki ke atas permukaan permadani itu.
“Pangonan Cilik!” sebut Pa’e nama tempat yang kami lalui. Suaranya lantang, berhembus dari arah belakang.
“Hhh … tempat untuk angon, Pak? Hhh … mana sapi, domba ... hhh?” tanya Nepo yang berjalan di depanku persis. Suaranya rmegap-megap, sembari mengatur langkahnya.
“Sekedar nama. Atau, mungkin banyak rusa keliaran di sini, dulu.”
Spontan kepalaku celingukan. Kanan-kiri, hanyalah sabana luas yang menghampar laksana pinggan raksasa. Pinggan yang dipeluk perbukitan berselimutkan hutan cemara. Kusapu seluruhnya dengan sekelebat pandanganku. Tak ada hewan berkeliaran di sini. Kecuali elang. Sejak tadi ia terus mengitari angkasa. Menghiasi tengadahku dengan rentangan sayapnya yang sesekali berkirai melawan sentakan bumi.
“Rusa? Di sini?” Aku semakin takjub. Tak pernah secara langsung melihat hewan bertanduk cabang itu di gunung manapun, “Sekarang mana, Pa’e?”
“Sekarang? Tak ada! Dulu satu dua ekor terlihat di Oro-oro Ombo sini,” jawab Pa’e. Aku tambah muram. “Jangankan lihat, mengendus aroma kita saja, mereka langsung lari!” imbuhnya.
Kitalah, pendaki, yang mengusik keberadaan mereka, kawan, gumamku dalam hati.
Langkah-langkah terus beranjak di titian jalan setapak. Aku tenggelam dalam fantasi. Kupandangi bukit-bukit yang menjulang di sisi kanan. Seolah, dari sana kerumunan rusa itu berarak, mengalir turun dari bumbunan hutan. Ratusan. Bahkan ribuan. Bumi berdebam. Mereka melaju kencang, seakan hendak menerjang kami. Namun, tiba-tiba gerombolan itu terbelah dua, laksana sungai pecah terbentur dinding karang, dan melewati kami begitu saja. Kemudian melambat, menapaki sudut lain padang rerumputan. Induknya mengawasi setiap datangnya gerak-gerik ancaman. Anak-anaknya lompat kesana-kemari, bebas bermain di alam.
Andai saja ....
Di balik bukit, samar desau angin mengalir, menyelinap ke dalam rongga telinga. Terdengar seperti suara riak-riak yang mentas ke pinggiran pantai. Kami menikung ke kiri, membentari bukit, dan di balik bukit itu, telaga. Telaga bening yang berpiuh-piuh riaknya, berkecipak-cipak jemari ombaknya. Kami terus berjalan memutari bukit, lalu lurus melenggang menuju shelter kayu yang berdiri.
Kotor! Sesampai di petaruan kayu, itu yang terlihat. Dindingnya penuh dengan corat-coret tipe-x, pulpen, arang, sticker dan apapun yang bisa dibuat tanda. Tanda “kebanggaan” mereka.
Kami sandarkan carrier pada dinding semen di halaman petaruan itu. Aku langsung lompat ke atas dinding. Sembari duduk, ku pandangi celah dua bukit yang seolah mengapung di atas telaga. Aku ingat persis, inilah tempat Pa’e mengambil gambar foto ajaib itu. Ranu Kumbolo.
“Kita makan!” ajak Pa’e, “Nur, Tongki, Nepo. Ambilkan air sana!”
Kami keluarkan peralatan masak. Pisau, gelas, sendok, dan ketel penanak nasi. Sungguh nyentrik pak tua itu. Biasanya, pendaki membawa nesting untuk menanak nasi. Tapi, pak tua itu malah membawa ketel besi antik Saat packing kemarin, kutanyakan padanya tentang ketel berpantat gosong ini.
“Ya, daripada kalian masak nasi tiga kali di nasting, satu ketel ini bisa masak nasi untuk sepuluh orang. Hemat waktu, hemat gas. Masalah beban, toh nanti dibagi-bagi.”
Masuk akal.
Anehnya lagi, ia tak mengijinkanku menggosok sesentipun daki pantatnya yang gosong itu dengan abu.
“Biar saja! Toh, nanti gosong lagi!” katanya.
Nampaknya, si pantat gosong ini benda keramat pak tua nyentrik itu.
Kami bertiga berhamburan. Mendekat telaga. Siulan angin menyeret hawa beku, lalu merembes ke dalam pori-poriku. Aku bergidik. Kucincing celana seragam abu-abu hingga lutut. Ku benamkan betisku sambil menenteng beberapa botol. Satu persatu, botol kuisi. Aku-Nepo-Nur secara estafet saling mengoper botol yang telah terisi dan kosong. Di belakangku, suara Nepo melengking memecah hening.
“Mahameru sadarkan angkuhnya manusia