Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #12

Home

Dini hari. Angin dingin menyerbu. Jaket-jaket tebal membungkusi kulit yang tak terbiasa menantang hawa beku. Kami duduk, membentuk lingkaran di depan tenda, sambil sesekali menyeruput teh panas buatan Pa’e.

“Jam dua, kita berangkat! Masih cukup kalau mengejar sunrise di puncak,” jelas Pak tua sambil meyingsingkan jaket tempurnya. Ia tumpahkan cahaya senter ke atas permukaan arloji di pergelangan tangannya, “Ayo, lima belas menit lagi!”

Reseleting tenda sebelah berderik. Beth keluar sembari membenarkan posisi headlamp-nya yang penceng. Berjalan gontai, mendekat. Di hadapan kami, ia tundukkan senter kepalanya. Tampaklah mukanya yang remang, kisut, dan setengah terkantuk itu.

“Arthur?” tanya Ijang.

Naw! Dia tak mau ikut .…”

Nur menyodok-nyodokkan sikunya ke lenganku.

“Apa katanya?” lirihnya.

“Cuma dia yang naik. Satunya, malas!” jawabku ngawur.

“Nah! Seperti ini tipe-tipeku, Kin! Pendaki sejati!”

Pa’e jongkok. Sorot senternya menyelinap ke dalam tas yang ia dedahkan di atas tanah. Tangannya mengaduk-aduk seluruh isi tas. Nampaknya, ia mengecek barang-barang di dalamnya.

“Di tanjakan pasir, ingat, jangan sampai turun sendirian!” jedanya sambil menghela nafas, “Banyak yang tersesat di sana. Jika tak kuat lagi, lebih baik mendaki pelan-pelan atau berhenti saja di situ. Tunggu rombongan turun!”

“Cup …,” panggilnya pada si Ucup, “jaga adik-adikmu ini. Kau jalan di belakang!”

“Beres, Pak!”

Kamipun segera berangkat. Pa’e memandu arah di depan. Kami berbaris laksana leang-leong yang merambat di atas gurun pasir. Menuruni sungai lahar kering, merambati tanjakan. Jalan setapak semakin sempit. Seolah, berjalan dasar parit yang berpasir. Udara berbaur dengan debu, tersedot, menyurutkan kerongkongan.

Langkah kami terhenti. Di ujung barisan, Pa’e melongok ke bawah. Ia berikan senternya kepada Nur. Pak tua itu langsung jongkok, membalikkan badan, lalu menuruni patahan jalan setapak. Nur mengangkat senter setinggi-tingginya. Ia tundukkan sinar itu menerangi jalan Pa’e.

“Sudah, Pak?”

Wis! Ayo, Nur!” seru pak tua itu, “Lempar senternya!”

Tubuh Nur merendah. Ia ayunkan senter yang menyala itu perlahan. Tanpa buang waktu, iapun turun ke dasar. Satu-persatu turun bergantian. Beth, Nepo, dan jelaslah semua saat giliranku. Kutengok ke bawah. Memang, tak ada cara lain selain memanjat akar pohon berdaun jarum ini. Rantai pembatas jalan terputus. Jajaran tonggak cor terguling, menukik ke bawah bersama longsoran pasir. Lebih mengerikan lagi, harus memanjat akar pohon untuk sampai ke punggungan pasir yang kanan kiri hanyalah jurang.

Nepo menyoroti jalanku dari bawah. Akupun berbalik. Kucengkeram lengkungan akar lingkar. Perlahan, kujejakkan kakiku pada kolong kaki pohon itu. Lalu mendarat pelan-pelan di atas punggunngan. Kami semua berhasil melewati patahan itu.

Kami berduyun tanpa henti. Sesekali, kusemburkan cahaya senterku jauh ke depan. Di perbatasan hutan, muncullah raksasa abu-abu bertelanjang bulat. Purnama menyirami tubuh yang digdaya itu dengan sinar lembutnya. Sungguh indah! Sejatinya, tanpa bantuan senterpun, semuanya terlihat cukup jelas.

Kutoleh ke belakang, baru sadar, rombongan kamipun terputus. Dua bulatan cahaya kecil berayun-ayun di atas pasir. Kuhitung satu persatu dari depan: Pa’e, Nur, Beth dan Nepo. Di belakangku Ijang, Tejo, dan Beni. Ucil dan Subur lagi-lagi tertinggal. Dan, kamipun terus melangkah tanpa henti mengikuti tempo Pa’e.

Nepo melangkah malas. Ia berhenti sembari memegangi perutnya yang kurus turus. Bocah legam itu terduduk di atas tumpukan pasir raksasa. Kepalanya tertunduk.

Luwe …,” keluhnya.

Kata yang menghambur dari mulut Nepo itupun menular. Akupun merasa kelaparan. Ku gerapai tas selempang hijau di punggungku. Telapakku melesak ke dalamnya, dan menyabut sebuah bungkusan plastik. Ku buka bungkusan biskuit. Tangan Nepo gesit meraih kue kering yang kusodorkan. Seketika, terdengar biskuit tergerus gigi-gigi yang belum tersikat dua hari. Akupun tak sabar untuk melumatnya.              

Selempeng biskuit penuh keajaiban! Bak menambah arang dalam tungku api. Semangat kami kembali berkobar. Kini, kami telah tertinggal dengan empat orang depan kami. Aku mendongak. Cukup jauh!

Menjelang matahari terbit. Panorama makin terlihat jelas. Semburan pasir berkali-kali mencuat dari Mahameru. Hitam, kelam, berbuntal-buntal.

Dim! Milikku!” tuding Nepo pada benda kain berwarna merah di atas sana.

Setelah beberapa langkah, kian jelas. Ternyata, itu topi merah. Nepo bersemangat, ia berjalan lebih cepat, hendak mengambil topi yang nampak masih mulus dan baru itu. Sesampai di dekatnya, Nepo membungkuk. Perlahan tangannya mengangkat paruhnya yang melengkung kaku.

Sh#t!” ia tercekat melihat ampas manusia di balik topi itu, “Untung belum kupakai!”

Kututupi hidung sembari terkekeh melihat ekspresinya yang geram tertipu. Sekarang aku sadar, mengapa topi terbuang itu tak laku meski di lewati orang berkali-kali. Kini, topi sebagus itupun tak lebih dari sekedar sampah. Sampah ... di mana-mana sampah!

****

Matahari mulai mengapung di garis horizon. Langit melapis bilur-bilur merah, oranye, kuning, dan semakin aku tengadah tegak lurus dengan bumi, maka biru palung laut yang kujumpai. Angin beku utara menampari pipiku yang telah kaku. Kami terus menapak, hingga ditengadahan kami, tak ada yang lebih tinggi lagi daripada langit.

“Puncak!” teriak Nepo lepas. Wajahnya meringis puas.

Si hitam gesit itu berlutut. Kedua tangannya menggenggam pasir, dan mengangkatnya sampai di depan dadanya. Pasir-pasir itu mengalir di antara sela jarinya, jatuh, terburai perlahan dari genggamannya.

Di tengah daratan, Nur berdiri sembari menyembunyikan kedua tangannya ke dalam kantung jaket. Tubuhnya mengimpit tiang berplang hijau. Kami gontai mendatanginya. Sesampai di hadapannya, papan itu jelas terbaca “Puncak 3676 mdpl”.

“Selamat!” sambut Nur dengan wajah kisut. Alisnya mengkerut, bibirya kering pecah-pecah. Tubuhnya bergetar, menggigil kedinginan.

“Sepertinya kau lama di sini, Nur.”

Lihat selengkapnya