Cita-cita bapakku yang dahulu kandas mengenyam sekolah tinggi, telah kulunasi. Namaku terpampang bersama lautan huruf dalam surat kabar. Aku lulus dalam pertarungan ujian nasional tahunan. Sebentar lagi, aku akan berjas almamater biru, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Teramat istimewa hari ini. Bagiku Bapakku. Bagiku juga.
Maka tak seperti biasanya. Sore ini, bapak mengajakku pergi pada kenalannya. Entah siapa. Aku berdiri menunggu di luar kantor. Tak lama kemudian, keluarlah Bapakku dari pintu gedung rektorat Universitas Negeri Malang. Di sanalah beliau mengabdi selama tiga dasawarsa sebagai pegawai administrasi.
Muka yang dahulu segar, kini kian tirus. Selama Beliau mengemban tugas, kaca mata retro persegi itu masih lekat, meninggalkan sepasang tapak hitam mengapit batang hidungnya. Biru baju korpri kebanggaannya mulai lapuk. Tak lama lagi, masa pensiun menghampirinya.
“Ayo, ke jalan Galunggung!”
Kendali motor tua kesayangannya diserahkan padaku. Kamipun berboncengan menuju tempat tujuan.
Di bawah lesu plang karatan, kami berhenti. Papannya mulai keropos digerogoti jaman. Tulisan putih “afdruk foto” mulai mengelupas, meninggalkan masa-masa kejayaannya dahulu. Pintunya tertutup, pertanda ruko itu tak lagi dipakai sebagai tempat usaha.
Di sebelah pintu terali, kupencet tombol bel.
“Teeeet ... teeeet ... teeet!”
“Yaaa ... yaaaa!” teriak seorang lelaki dari dalam.
Sesaat kemudian, seorang kakek membuka terali. Sinar matanya buram. Kantung matanya yang menggantung rapuh, berisyarat, umurnya lebih dari tiga per empat abad. Namun masih jelas warna kuning di balik keriputnya kulit itu, aku menduga, ia generasi peranakan Hokkian. Dan jelas ketika kakek itu mempersilahkan masuk, di meja lobi, tergeletak surat kabar harian berbahasa mandarin.
“Ini putra saya, Kong Oei, ingin belajar memotret.”
Baru tersadar. Bapak mengajakku ke sini untuk belajar memotret. Semangatku meletup-letup.
“O, ini Pak, putranya? Jadi, kau senang dengan fotografi ya? Apakah sudah bisa memotret?”
“Selama ini pakai kamera saku, Kong,” jawabku, “Tapi, sering ku baca teori-teori fotografi di perpustakaan umum.”
Dia beranjak dari tempat duduknya, menuju tempat meja etalase yang untuk melayani klien itu. Kemudian dikeluarkanlah sebuah kamera perak berbahan metal. Mataku berbinar melihat kamera antik itu. Di bagian atas bodi kamera tertulis Minolta, di sudut lainnya tertera XD-7. Warna perak lapisan metalnya terjaga dengan baik. Sekilas tiada beret sedikitpun yang menodainya.
“Mulai sekarang, kamu akan belajar kamera SLR.” Tangannya mulai mengutak-atik bagian kamera, melepas lensa, memeriksa jeroannya, “Kamera ini cukup tua, tapi salah satu tercanggih pada jamannya. Sudah 30 tahun kamera ini menemaniku.”
Aku mengangguk-angguk takjub dengan kamera tua itu.
“Tapi sayang, pengait penggulung filmnya pecah.”