Orlan, pemuda berahang persegi. Kawan baruku. Sudut matanya setajam tatapan elang. Ekspresinya datar, setenang wajah Pasifik di malam cemerlang. Tak pelak, banyak wanita langsung lebur kala tertikam tatapannya. Meski demikian, seumur hidup, belum satupun wanita yang telah dipilihnya. Untuk saat ini nasib kami setara: dua bujang karatan.
Intelektualitas seni dan sastra memolesnya menjadi pria bercita rasa tinggi. Ia berpegang teguh sabda agung Theophile Gautier, “L’art pour l’art”. Seni untuk seni. Itulah mengapa, jika mahasiswa Desain Komunikasi Visual itu melukis, hasilnya sulit dicerna. Selembar kanvas hanya akan ia penuhi dengan semburat gradasi warna awan kelabu, atau hamparan tanah retak dengan sebuah batu kali di atasnya. Tak masalah dengan ribuan interprestasi orang. Baginya, fine art tak akan pernah berdamai dengan tuntutan utilitas atau selera pasar. Seniman berhak penuh untuk menelurkan emosi dan impresinya ke dalam guratan ataupun kata.
Pertemuan kami bermula dalam bilik himpunan mahasiswa penggemar fotografi Universitas Malang, Himafo. Aku mahasiswa dari kampus seberang. Satu-satunya “orang asing” di sini. Tetapi, di antara kerumunan di balik almari penuh kamera, ialah yang pertama kali menyapaku.
“Langit lazuardi dan seorang penantang mentari .…”
Ia raih binder catatan kuliah yang tergeletak tepat di hadapanku. Perhatiannya lekat pada foto 6R pada sampul plastiknya yang mulai buram. Senyum kecilnya terkembang melihat siluet seseorang yang berdiri menggagah, tegak di atas cakrawala dan menghadap titik terbit surya.
“Fotomu?” Alisnya terangkat, mengiringi kelopak matanya yang meluap pertanyaan.