Foto momen cahaya surgawi telah kami cetak. Kedua lembar foto itu kutancapkan dengan jarum pada sterofoam mading. Satu momen, dua sudut pandang yang berbeda. Kupandangi fotoku. Sebetulnya, bukan foto siluet sebatang pohon seperti ini yang ingin kutangkap. Tetapi, sebatang pohon cemara telanjang, luka, rengat tulang cokelatnya. Sementara itu, hampir tegak lurus dengan bumi, adalah gerbang langit yang terkuak di atasnya. Bukan seperti ini yang kumaksud.
“Jika saja ada selembar kain putih sebagai reflektor saat itu,” gumamku.
Orlan serius. Sebelah tangannya bersedekap, sebelahnya lagi menopang dagunya. Sembari memeras keningnya, ia kupas estetika foto itu dengan tatapan tajam. Sebuah emosi sunyi, sepi, sendiri lekat di foto itu. Di antara bentang padang rumput yang luas, sebatang cemara ranggas tegak berdiri. Pohon ia tempatkan sebelah kanan bawah. Dari sisi kiri atas, cahaya surgawi menyeruak, melimpahkan seluruh sinarnya hanya pada pohon itu. Seolah, hanya satu-satunya makhluk itu yang diilhami oleh kuasa langit. Komposisi sesuai rasio emas, menjadikannya pemandangan itu hidup dan dinamis.
“Fotomu sangar, Lan!”
Orlan mengelus-elus dagunya, lalu tangan itu mendarat, bersedekap sempurna.
“Belum!” Sejenak ia merangkum nafas, “Foto ini kurang impresif!”
Aku heran.
“Jika saja ini monochrome ...,” gumamnya.
Kali ini aku setuju. Foto hitam-putih memang dapat mendramatisasi lanskap.Terkesan lebih hening, lebih sepi lagi.
“Pernah kau lihat foto karya Ansel Adams, Lan?”
Secepat kilat, ia terperanjat, menoleh padaku yang berdiri di samping kanannya.
“Kau tahu tentang fotografer hitam-putih legendaris itu juga, Kin?!”
“Bagi petualang gunung dan pecinta fotografi, siapa yang tidak kenal penemu zone system itu, Lan? Dia seorang hero. Dengan foto-fotonya, ia selamatkan Yosemite National Valley dari eksploitasi.”
Sikutku melayang, menyikat lengannya. Sementara, ia sendiri menganga, kelopak matanya terbelalak. Kata-kataku itu sukses menyelinap ke gendang telinganya. Seakan ia tak percaya.
“Tapi, hanya sebatas teori yang masih kupelajari,” sambungku.
“Zone system itulah yang sebenarnya ingin kupecahkan, Kin! Kita sudah ketinggalan jauh dengan UKM lain. Lihat Format ITN itu, mereka berani meriset hal-hal baru. Mulai kamera pinhole dari bungkus rokok, hingga yang terakhir, teknik kuno cyanotype.” Orlan semangat bercerita, lalu ia mengangkat kedua tangannya sejajar bahunya, “Kita, Himafo, UKM fotografi tertua di Malang, apa yang sudah kita telurkan?”
“Itulah, sebabnya aku masuk Himafo, Lan! Ku kira, aku akan dapat ilmu banyak di sini.”
Kami berdua setuju untuk memulai riset zone system itu. Kami menenggelamkan diri dalam lautan buku. Di perpustakaan kampusnya, Orlan menyelediki buku apapun yang berkaitan dengan dunia fotografi. Aku mahasiswa luar, tak diperkenankan masuk, kami sepakat membagi tugas. Dan tugaskulah memilah dan memilih buku-buku rujukan dasar riset.
Tiga jam kami berburu buku. Bertumpuk-tumpuk buku disodorkan Orlan, berlembar-lembar yang kuperiksa. Buku yang kertasnya kecoklatan dan baunya apek memikatku. Fundamental of Photography, terbitan 1950. Memang tak termaktub zone system di sana, tetapi, kami temukan resep untuk membuat cairan untuk mencuci dan mencetak film hitam-putih yang tak dijual di negeri ini: Kodak D76.
Di internet, tak sulit menemukan intisari zone system. Maka, jika tiga buku karangan Ansel Adams: The Negative, The Print, dan The Camera dirangkum, jadilah expose for the shadow, develop for the highlight! Kurapalkan esensi ketiga kanon itu di luar kepala, bak lima mantera Pancasila. Di dalam markas Himafo, kami sering tukar pendapat.
“Berhari-hari kupelajari, aku masih belum paham konsep zone system ini, Kin!” Orlan kebingungan, sambil membawa buku yang kami cetak dari file pdf unduhan, dia menggaruki kepalanya.