Di ajang kompetisi intelektualitas, karya tulis dan foto-foto itu kami pertaruhkan. Para mahasiswa mempresentasikan hasil risetnya dengan elegan. Cerdas, berisi, penuh inovasi. Tampilan slidenyapun luar biasa kreatif. Menyihir perhatian. Dari warna-warni Microsoft Power Point generasi terbaru, hingga program canggih dengan aplikasi Flash Macromedia. Dan kami? Bukan main konvensional! Power point ketinggalan jaman dan empat eksemplar kalender tahun 2006 dengan tampilan foto monochrome.
“Single fighter?” komentar seorang juri ketika melihatku membagi-bagikan gulungan kalender pada ketiga hakim penilai.
Orlan duduk di belakang meja dewan juri, tersenyum. Dialah yang selama ini mendukungku. Sebulan penuh kami bekerja mati-matian. Naik-turun gunung, menyelami belukar, tenggelam bersama berudu kali, cuci-cetak foto, lalu mengubahnya ke dalam file digital. Untuk mendanai beberapa eksemplar kalender, ia pun rela menemaniku mondar-mandir mencari koran dan kardus bekas untuk kami rombengkan.
Masih terbesit perjuangan keras itu. Bahkan, untuk mencari selembar foto, kami gadaikan nyawa. Di hutan kaki Gunung Butak, kami diusir oleh pembalak liar. Gertakan mereka tak akan membuat kami lupa. “Sampai foto kami, mati kau!” Gerigi gergaji mesin itu terangkat lurus ke atas dahi kami. Akhirnya kami mundur. Tapi, tak ada kata menyerah dalam kamus hidup kami. Semiggu kemudian, kami datang pagi sekali. Berkamuflase, ambil posisi di titik persembunyian, merangsek ke dalam belukar, dan menunggu di antara keheningan hutan. Dan akhirnya, moncong lensa tele, senjata kami itu, membidik tepat seorang pemikul balok kayu sepanjang tiang listrik di tengah hutan.
Turun gunung, aku menggerutu.
“Lihat kau film Vue du ciel?” cetusku, “Dua milyar kepala lebih, masih menggunakan arang kayu sebagai bahan bakar, Lan .…”
“Bayangkan, DUA MILYAR!” Dua jariku terangkat mengiringi perjalanan, “Sepertiga penduduk bumi!”
Orlan, seperti biasa, datar. Sejak tadi, kepalanya cuma manggut-manggut saja. Tak henti-hentinya aku meronyeh. Masalah lingkungan, persoalan paling sensitif bagiku.
“Belum untuk yang lain!”
Aku terus mengoceh tanpa henti.
“Lalu yang sengaja dibakar!”
“Sebentar lagi, habislah sudah hutan di bumi!”
Bumi semakin demam. Hutan semakin menjarang. Ekologi tak terhindar lagi dari degradasi. Bumi sering menunjukkan keluhnya. Banjir, erosi, kekeringan, panas! Tapi, sedikit sekali yang peduli.
Penjelajahan kami melebar. Dari atap bumi, menyelam ke lembah peradaban. Lensa kami tak berhenti fokus pada berbagai kenyataan. Bahkan semakin tajam. Lihatlah, apa yang Orlan kerjakan di tengah Kali Brantas. Nampaknya, ia hendak lompat ke bibir sungai. Di atasnya, air bergulung-gulung liar. Bergelombang, meluncuri batu berundak, lalu terjun melibas tebing curam Dam Kadalpang. Air yang menghunjam pada permukaan kali itu pecah, semburat menjadi serpihan kabut. Orlan pasang kuda-kuda di lereng kali. Firasatku buruk. Ia ingin menerjangi arus liar, menuju pulau delta yang membelah kali itu.
“Sinting!”
Aku lari, hendak menahan tangannya. Tapi terlambat! Ia nekat menerjuni gelombang liar itu.
Byuur!
Kepalanya timbul-tenggelam di permukaan air. Tubuhnya tergulung-gulung pusaran. Sekuat tenaga, ia berenang melawan arus. Seakan mengapung. Seakan diam tanpa pergerakan. Namun, tak lama ia kelelahan, perlahan tubuhnyapun mulai terseret. Kulemparkan beban yang menggantungi pundakku. Aku lari. Tengok kanan-kiri. Di dekat bibir sungai, tergeletak debog pisang. Kuseret, kulemparkan diri bersamanya. Aku mengambang, terseret deras arus. Susah payah aku menjeremba, dan akhirnya, berhasil kucengkeram pergelangan Orlan!
“Lawan, Lan! Lawan terus!” pekikku sekuat tenaga. Tapi, suaraku terlumat seluruhnya oleh gejolak deburan air terjun.
“JRRRRSSSSSS .…”
Kaki kami mendayung-dayung, beradu dengan arus, hendak menepi. Tapi, arus malah menyeret kami ke tengah pulau delta. Mendekati padas yang licin, kuhempaskan debog pisang. Aku menggerapai-gerapai dinding cadas. Jari tanganku tersangkut, mencengkram ujung tonjolan cadas. Tubuh kami berkibar-kibar di atas permukaan air.