Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #17

Gunung Kasih Tak Sampai

Mobil tua mengerang merambat terjal aspal menuju desa Baderan. Hari ini, pertama kali memang, aku terseret dalam petualangan ke gunung yang konon para pendaki menyebutnya gunung kasih tak sampai. Pa’e, seperti biasanya, senantiasa memberikan kejutan-kejutan gila pada kami dalam setiap pendakian. Namun beberapa hari yang lalu dia mengatakan suatu ketidakpastian mengenai kegilaan yang satu ini. Antara menembus pegunungan terluas di Pulau Jawa itu, atau tidak pada hari yang telah ditentukan.

Pa’e adalah salah satu petualang gila yang pernah kukenal. Tak terbilang jumlahnya, berapa kali dia telah menjelajahi gunung-gunung dan hutan. Hingga mencapai titik jenuhnya dengan style pendakian konvensional, dia benturkan kejenuhannya dengan ultralight hiking yang nampaknya belum populer di negeri ini. Dia penggila hal-hal gila. Lelaki tua eksentrik, yang membedakan dari para pendaki dengan simbol-simbol kegagahannya: carier 70 liter. Umumnya, semakin besar dan semakin menjulang tas ke angkasa, terlihat semakin gagah. Teori berkelakar, siapa yang membawa carrier terbesarlah yang berwibawa dan perkasa. Dengan kata lain dialah yang terkuat. Namun tiada wibawa dan keperkasaan carrier dalam pendakian kami kali ini. “Bukan itu yang kita cari!” Seolah sinar matanya bersuara. Demikianlah dia memberi kami pelajaran. Entah mengapa, lama-lama aku terseret dalam setiap petualangan nekat dengan paradigma lain dan keracunan ide gila seperti ini: menjadi “pendaki minimalis”.

Besi tua berkaki empat itu berjalan melintasi desa-desa. Matahari tanpa ampun meretakkan tanah-tanah ladang, mendidihkan tubuh kami. Sekalipun terlindung atap besi, tubuh kami tetap saja meleleh. Untungnya kami bergerak melesat. Membiarkan angin menyelinap masuk, melewati celah-celah kuda besi. Legam kulit eksotis penduduk setempat dan tembakau yang mereka jemur adalah pemandangan khas desa. Sesekali Pa’e mendongeng tentang reruntuhan sarkofagus yang telantar di antara ketidakpedulian masyarakat setempat.

Matahari belum sempat tergelincir dari angkasa. Burung-burungpun masih berkicau menghiasai suasana. Kami berhenti di sebuah halaman di antara dua buah rumah yang berdampingan. Di latar rumput halaman rumah itu, berdiri papan besi yang sedikit mengarat: RESORT KSDA PEG. YANG TIMUR.

Seorang pria paruh baya dari dalam rumah menghambur keluar, terlihat senyum di balik kumisnya yang tebal. Ramah, nampaknya telah lama mengenal lelaki tua di sampingku ini. Sambil menyambut, pria berkumis mempersilahkan kami masuk ke dalam.

“Oh, jadi dua orang ini pasukan baru Sampean, Pa’e?”

“Yang satu Nur dan yang duduk di pojok itu Tongki. Yang besar ini pasti lupa-lupa ingat, Hasan Gedang!”

“Iya Pak, yang besar ini sering ke sini. Sekolah di mana, Nur?”

“Dulu di Singosari, Pak.”

“Lho, saya juga orang Malang. Singosari mana?”

“Kantri,” pungkas Nur singkat.

“Ngomong-ngomong jadi setiap minggu bolak-balik Malang-Baderan, Pak?” basa-basiku, sekedar memeriahkan pembicaraan.

Personil jagawana itu meraba-raba kantung celana lorengnya. Dari kantungnya menyembul kotak cokelat, yang tak lain bungkus rokok. Dia tarik sebatang dari bungkusan itu. Rokok kretek tersulut, baranya berkilat-kilat. Dia hisap dalam-dalam asap ke dalam rongga mulutnya. “Fuuuu .... ” Asap keluar dari mulutnya yang menghitam bak ujung cerobong asap pabrik.

Ndak, saya sekarang tinggal di dekat sini, semenjak saya lulus SMA, saya jadi jagawana di sini. Ya kalau lebaran saja saya mudik ke Malang.”

“SMA-nya dulu di mana, Pak?” tambah keisenganku.

“Saya dulu SMA Tugu. SMA 4 Malang.”

“Sama, Pak! Waduh, bertemu kakak kelas ini namanya!”

Kening lelaki itu terangkat. Tersenyum tak percaya.

“Saya ingat jelas, kepala sekolah saya dulu Pak Soekotjo!”

Dahiku mengernyit.

“Waduh tidak kenal, Pak, angkatan tahun berapa itu?”

“Saya dulu tahun 80-an.”

“Saya belum lahir, Pak!” Kamipun tertawa.

Ruangan ini hanyalah rumah biasa. Di tempat inilah para jagawana bertugas mendata. Pria setengah baya itu masuk ke ruangan dalam. Mencurahkan air ke dalam gelas-gelas, kemudian mengaduk-aduknya hingga suaranya bergelenting bertalu-talu. Di depanku, tembok berwarna krem muda. Di sana tergantung kalender 2006 bergambar seekor kijang yang pernah kulihat di kebun binatang. Kijang kurus itu meringis. Barangkali dia tahu, betapa bebasnya hidup di sana, di sabana alam terbuka.

Nuwun sewu, nama njenengan siapa, Pak?” sambarku selagi lelaki berwajah jumud itu mebagi-bagikan kopi hitam.

“Panggil Susiono! Jangan lupa, SU-SI-O-NO! Kalau mendaki ke sini lagi, ajak teman-teman kalian. Nanti kuajak ke Gunung Kukusan. Juga kuajak ke danau yang memang sengaja kami tutup. Kami rahasiakan, agar gunung ini tidak rusak. Biar mereka tetap murni!”

Pegunungan Hyang memang pegunungan terluas di Pulau Jawa. Di sini, satwa hidup bergerak bebas. Merak-merak berterbangan, gema kicauannya syahdu, bernada elegi mencumbu tanah Hyang. Rusa liar berlarian. Babi hutan dan hewan-hewan buas lainnya seperti harimau adalah penghuni tetapnya. Hutan ini adalah persemayaman raksasa tropis. Tersimpan pepohonan yang lebih besar daripada pepohonan di hutan-hutan berbagai gunung di Jawa pada umumnya. Masih banyak yang belum tersingkap di belantara Hyang ini. Misterius.

Ironisnya, perusakan-perusakan terhadap gunung seisinya ini semakin menjadi-jadi. Manusia dengan segala kerakusannya menjarah, memperkosa hutan seisinya. Menjualnya dengan harga murah untuk kepentingan jangka pendek semata. Dan lagi-lagi, sampah para pendaki tak bernurani kian tak terkendali. Perburuan satwa liar. Pencurian situs-situs bersejarah acap kali terjadi. Illegal logging pun eksis. Pak Susiono tak jarang pula mengamankan gunung dengan senapan mesin, “Bren,” katanya.

“Ngomong-ngomong, rencana berapa hari, Pak?”

“Sehari! Nanti tidak kembali ke sini. Kami langsung tembus ke desa Bremi.” Senyum Pa’e penuh percaya diri.

“Mana mungkin, Pak!”

Pa’e cuma tersenyum, “Ayo, Ki, Nur, segera packing perlengkapan! Kita harus segera ke gubug penduduk terujung dekat pintu masuk hutan. Kita ijin menginap. Jangan sampai kemalaman!”

Kami bercengkrama, layaknya saudara lama yang tak bertemu puluhan tahun. Kami lekas packing, memasukkan periuk, lauk pauk, dan lain sebagainya. Minim memang. Dari apa yang kudengar, memang tidak masuk akal rencana pak tua itu. Tiada tenda di tas kami. Hanya flysheet dan setengah kilo beras, sekedar untuk berjaga-jaga, apabila rencana meleset.

Kami berpamitan dan bergegas ke gubug terakhir.

Hari menjelang malam. Jalanan berbatu lancip. Menancap rasanya di telapak kaki. Mobil tua tak tahan lagi menghadapi bebatuan. Sehingga dia mengantarkan kami sebatas setengah perjalanan menuju gubug terujung.

“Res, Qures! Kau jemput kami saja nanti malam di Bremi! Sekarang kau balik saja!” pesan Pa’e pada juru kemudi.

Tak terasa, bumi cepat temaram. Terpaksa sholat maghrib di atas runcing bebatuan.

Di saat gemintang tergantung di angkasa, kami sampai di gubug terujung. Kami diijinkan menginap oleh sepasang suami istri pemilik gubug. Yang paling kusukai, kebersahajaan interiornya. Penerangannya masih lampu minyak tanah. Dinding bambu terpaku di antara tiang-tiang kayu. Alasnya cokelat, tanah lembap. Merekapun mempersilahkan kami duduk, menghadap tungku api di tengah ruangan. Ceret berjelagapun mendarat ke atas jilatan api.

Lihat selengkapnya