Festival perdana Malang Tempo Doeloe yang meriah. Jalan aspal sesak dipenuhi para pengunjung. Sepeda jengki berbaris-baris, menggelinding membelah kerumunan dengan belnya. “Kring kring kring!” Kanan-kiri boulevard dipenuhi dengan kedai dan stan berdinding bambu. Cahaya penerangan kedai dan stand itu temaram, dirancang sesederhana mungkin. Lampu-lampu cempluk dan obor menghiasi dinding dan halamannya.
Di antara stan-stan yang beridiri, hanya milik kami saja yang serba canggih. Banner bertuliskan Toekang Tjutji Tjetak terbentang di atas pintu masuk kedai. Di bawah kendali Bung Eng, kelap-kelip blitz menyambar-nyambar kepala trigger. Sepasang soft box pun menyembur-nyemburkan cahaya kilat. Di sini pula, aku sudah empat jam tak berkutik di hadapan printer. Berulangkali aku benahi mesin yang bergerit-gerit parau itu. Seluruh susunan mekanisnya hampir aus, kabel infus tintanya bingkas keluar lintasan. Sudah ribuan kali ia melayani nafsu berfoto para pengunjung. Setiap kali memori kamera DSLR penuh, Bung Eng berikan filenya kepada Orlan.
Pekerjaan Orlan lebih seru. Jemarinya mahir bermain photoshop di atas keyboard yang mulai berdaki-daki itu. Atas permintaan klien, ia poles wajah para pemudi yang mangkak menjadi bersinar. Ia terima pula jasa untuk perlangsing tubuh kedodoran menjadi body gitar. Seperti sulap! Digital imaging membuai hasrat para gadis itu dengan seribu tipuan.
“Gantikan kami!” perintah Orlan pada dua orang yang berjaga di luar stan. Ia jenuh dengan pekerjaan itu.
Kami melenggang keluar dari gubuk gedhek yang berdinding terbuka bak warung itu. Sepulang dari Gunung Argopuro kemarin, jalanku kaku seperti robot. Seringkali Orlan menunggui langkahku yang terseok dan lambat.
Kami susuri jalan kembar Ijen, yang sejarahnya dahulu dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. Stan demi stan unik kami jelajahi satu-persatu. Jajanan semacam bledhus, gatot, glali, arbanat atau buah selangka rukem yang kian tak dikenal generasi muda, di sini dijajakan kembali. Pertunjukan wayang kulit, ludruk, dan tari topeng digelar. Tapi sayang, sepi penonton. Hanya orang-orang beruban dan para veteran perang yang tetap setia dengan kebudayaannya.
Kami penasaran pada gubuk yang berdiri tepat di bawah pohon palem. Gubuk yang sama sekali tak berdinding itu dikerubungi oleh para pengunjung, hingga tak dapat dilihat, apa isi di dalamnya. Kami mampir ruangan beratapkan daun padi itu. Suara riuh bersahut-sahutan. Aku semakin penasaran. Kuselipkan kepalaku menerobos kerumunan itu.
“Kho Ping Ho! Berapa harganya?” tanya calon pembeli sambil mengangkat sebuah komik pendekar kuno.
“Seratus ribu!” Ia kibas-kibaskan uang yang terjepit ibu jari telunjuknya ke atas tumpukan buku, seraya berteriak “Pelaris pelaris!” Betul-betul kental mitos Jawa.
“Kalau komik wayang itu?”
“Mahal, Pak. Koleksi langka. Satu set, sewu pas!” tawar penjual. Ia acungkan jari telunjuk kanannya. Sewu, istilah Malangan, berarti satu set komik wayang itu dibandrol satu juta rupiah.
Fantastis!
Yang tersedia di sini hanyalah tumpukan buku lapuk. Udara kibasan kertas buram yang mereka bolak-balik melayang-layang. Aroma apek menusuk rongga hidungku. Kitab primbon, almanak, buku ilmiah kuno berbahasa Belanda bertumpuk-tumpuk, rumus gaib ilmu kejawen tersibak-sibak. Tidak ada yang menarik perhatianku kecuali satu-satunya buku yang terpajang bebas di dekat kaki pemilik lapak itu. Buku terpampang jelas. Tak seorangpun yang berminat menanyakannya, apalagi membukanya satu halaman pun.
“Mas, lihat buku itu!”
“Ini maksudmu?” Ia lemparkan buku dengan hard cover cokelat tua itu ke hadapanku.