Semakin rumit bahasa Rusia untuk dipelajari, semakin kuat keinginanku memecahkan teka-tekinya. Sejak dahulu, Rusia telah membuatku takjub. Jika ibu Ariyanti membeberkan peta dunia, digdaya bentang alam Rusia selalu menarik perhatianku. Sebuah negeri yang imperiumnya pernah meluber dari timur Eropa, Asia Utara, hingga mulur ke beku Alaska. Demikianlah Rusia telah membuatku silau. Tapi, lihatlah Orlan. Ia tertenung sisi lainnya kala iseng membaca-baca buku kesayanganku itu. Tiba-tiba tangannya berhenti mendedah halaman ke-301.
“Aleksander Sergeyevich Pushkin!”
Sontak ia keras menyebut sebuah nama. Sinar matanya terbakar, saat menatap sosok ikal bercambang tebal. Seolah, ia benar-benar kenal sosok itu.
“Pujangga agung Rusia. Mati karena cinta!”
Aku tercekat. Bicaranya begitu ngotot, sambil ia tunjuk-tunjuki hidung si ikal yang terpampang di kertas.
“Tewas karena api cemburu!” Alisnya mengerut, mulutnya bersungut-sungut.
Kini, bola matanya itu berkilat kemarahan. Mendendam. Seolah, ia sendiri yang terbakar kecemburuan itu.
Begitulah Orlan jika berbicara segala hal tentang dunia sastra. Suaranya berderu-deru, semangatnya menggebu-gebu. Seharian penuh, tak akan habis ia bercerita tentang liukan kata-kata puitis Sapardi Djoko Damono. Ia kesurupan jika membaca mantra Chairil Anwar, menggigil ketika mendengar sajak bebas W.S Rendra.
“Ilkin, bukankah kau ingin cepat menguasai bahasa Rusia?”
Sangat!
Bahkan, aku berlatih membabi-buta seperti orang gila. Kemanapun pergi, mulutku komat-kamit merapali kosakata baru. Jika menghadap sebuah lemari, maka “shkaf!” teriakku keras-keras. Pernah suatu ketika sebuah buku tergeletak di meja kutempeli stiker, lalu kububuhi huruf sirilik di atasnya, “knyiga!” pekikku lantang di tengah perkuliahan. Sejak peristiwa itu, seorang kakak tingkat memanggilku Gagarin. Manusia pertama penjelajah secuil kosmos.
Tapi aku mulai tak puas dengan monolog bodoh itu. Orlan memberiku solusi. Friendster, itu solusinya. Tak pernah terlintas di benakku untuk menjelajahinya. Kini, aku aktif menebar pertemanan dengan orang-orang Rusia. Meski aku sendiri tak mengenal mereka.
Maria Nechayeva, gadis Rusia berambut panjang cokelat sutra, menarik perhatianku. Aku sangat menggebu belajar bahasa karenanya. Secara acak, kubukai kamus saku Rusia-Indonesia tahun 1961 yang kubeli di toko loak. Aku bingung. Tak tahu apa yang akan kutuliskan. Sejam penuh, ku cari kata-kata pembuka, bak mencari seekor kutu di dalam tumpukan rambut. Akhirnya, kutemukan sebuah kata yang tepat untuk melukiskan bidadari berkulit putih cerah merona itu: krasiviy.
“Ti krasiviy!” Ketikku pendek.
“)))!”
Aneh. Ia malah tuliskan rentetan tutup kurung itu. Belakangan, aku tahu, itulah ekspresi orang Rusia ketika tertawa lepas dalam tulisan elektronik.
“Bozhe moy! I’m handsome! U r so funny!)))”
“U should write ’Ty krasivaya’, moi drug! KRA-SI-VA-YA! Krasiviy means handsome!))”.
Pelajaran berharga! Akhirnya aku tahu. Ternyata, kamus Rusia hanya menyediakan kata-kata bersifat masculine saja. Untuk merubah ke gender feminim, hanya perlu kuubah sedikit saja: –iy, menjadi -aya. Dobriy chelovek – lelaki baik, dobraya devushka – gadis baik. Sungguh, bagi pelajar otodidak, metode belajar seperti ini cukup efektif! Ini baru chatting berkualitas!
“I’ve found in my book, that we can call Maria as Masha. Is that true?”
“Right! Masha, Mashenka, are dimunitive name for Maria)”