Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #20

Aksioma

Sore ini, lantai markas Himafo berserakan. Permukaannya kasap, tertutup butiran serbuk kayu bekas gergajian. Di atas remahan itu, aku duduk di atas dampan. Berjam-jam, tanganku sibuk memaku papan kayu, melapisinya dengan potongan kertas linen hitam, kemudian kuarsiri tengah-tengahnya dengan spidol bertinta perak. Dengan bantuan mistar, mata spidol melaju searah, segaris demi segaris dari atas ke bawah, hingga membentuk sebuah bidang persegi panjang tepat di tengah-tengahnya. Di atas meja kayu, kusandarkan hardboard yang berlapis linen hitam itu pada dinding. Aku terinspirasi foto-foto di galeri Ansel Adams tentang mounting ini.

“Perlu bantuan?” Sejak pagi tadi, Orlan menemaniku. Ia bersandar di dinding. Bersantai, sambil membaca buku Pelajaran Mandarin lapuknya.

Kugeleng-gelengkan kepala. Tak seorangpun kupersilahkan untuk membantu pekerjaan ini. Karya ini harus murni tetesan keringatku, buah tanganku. Hari ini, akan k telurkan karya agungku!

“Tutup saja dengan kaca, fotomu bisa rusak karena debu.”

Aku duduk, berseranggung. Tanganku menjepit dagu. Kubayangkan. Apa bagus diberi kaca?

“Tapi, linen hitam dan warna perak itu pas menurutmu, Lan?

Kepalanya naik-turun, tanpa suara, “Lumayan!” Kutebak, kira-kira demikian maksud anggukan dengan bibir bawah yang mulur itu. Namun, matanya tak berhenti mengamati papan itu dengan saksama. Ia beringsut mendekat. Ia belai kertas hitam itu dengan telapak tangannya.

“Foto yang mana yang kau pilih nanti?”

“Ingat foto yang kutunjukkan Pada Kong Oei, Lan?”

Kening Orlan mengerut. Ia ingat-ingat peristiwa beberapa bulan lalu itu. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja secara berurutan, bak suara ladam kaki kuda yang melesat, berderam-deram menggetarkan bumi.

“Foto vignette cahaya bulan yang kau foto di puncak Panderman itu?”

Kepalaku mengangguk sekali, penuh semangat. Tak sabar segera kupasang foto berwarna yang baru saja kucetakkan itu.

“Melihat kau begitu semangat, hmmm, aku tahu, ini pasti untuk .…” Bola matanya menggelinding ke sudut kanan, melirikku penuh curiga. Ia meringis. Lalu berubah sekejap dengan sorot mata istimewanya itu dengan penuh keseriusan.

“Pakai saja kaca doff, biar terkesan elegan!” imbuhnya.

Esok harinya, ku beli kaca doff. Kutitipkan kaca itu di rumah Nepo, lalu melenggang ke tukang afdruk foto yang tak jauh dari rumahnya. Ketika kembali, kuceritakan semua, mengapa kucetak foto itu besar-besar.

“Hadiah untuk Eria?!” sentak Nepo terperanjat.

Ia takjub pada portrait keagungan peristiwa alam. Matanya binar pada purnama yang berselendangkan kabut. Cahayanya syahdu, membentuk vignette hitam yang merangkum malam. Dengan cahaya bening itu pula, rembulan menghujani permadani mutiara Kota Malang yang membentang. Istimewanya lagi, foto itu merekam miliaran partikel letupan kawah nganga Mahameru yang menghambur lurus, melayang jauh dibawa angin laut selatan. Terbelah lah langit kelam oleh kuasan lembut pasir vulkanis itu.

“Ah, wanita mana yang tak klepek-klepek dengan pria seperti ini? Bahkan, sampai rela lari belasan kilometer, hanya untuk menjenguk cintanya itu.”

Aku meringis. Geli melihat ekspresinya yang hiperbolis itu.              

“Romantis … ini baru RO-MAN-TIS, bro!” Nepo terkekeh-kekeh sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.

Aku undur diri.

Seluruh barang yang telah kupersiapkan dari rumah, ku bawa ke sekretariat Himafo. Ruangan itu sepi. Hanya Orlan dan Murni saja yang ada di dalamnya. Aku mulai bergerak. Murni sibuk mengetik proposal untuk riset skripsinya. Sedangkan Orlan tenang membaca buku Rusiaku. Kini, ia tertular penyakit apatisku.

Kutempelkan foto 12R itu sedikit ke atas, hingga bagian background perak bawahnya lebih panjang. Ku impit mounting itu dengan kaca doff dengan empat sekrup di sudut-sudutnya. Aku mundur enam langkah. Kulipat kedua tanganku, bersendekap ke dada. Di permukaan dinding yang putih, foto di balik kaca itu seakan memancar lembut. Tak terlihat sama sekali pantulan-pantulan benda lainnya di permukaan kaca. Benar kata Orlan. Elegan.

Masterpiece!” pekikku dalam hati. Aku mengangguk, tersenyum percaya diri.

Tiba-tiba, Orlan menepuk bahuku dari belakang.

“Jadi, kapan kau berikan foto itu pada … siapa? Eria?”

“Bes .…”

“Yee! Jadi, kau bisa jatuh cinta?” Tiba-tiba, Murni menyela pembicaraan.

Aneh. Padahal sejak tadi, ia sibuk dengan skripsinya itu. Tiba-tiba saja ia menyambar, bak petir merajam angkasa tanpa mendung lebih dahulu. Ternyata, mitos-mitos psikologi yang sering diceritakan Nepo itu benar adanya. Radar wanita itu tajam jika menangkap sesuatu berhubungan dengan relationship affair, “She will be all ears,” imbuhnya dengan mengutip sabda Bapak Psikologi modern, Sigmund Freud.

“Lho, belum tahu kalau Ilkin mesti simpan foto kekasihnya itu di sakunya, mbak? Coba, periksa sakunya itu sekarang!” Mimiknya memuai meledek.

“Lho, kok tahu, Lan?” Aku terperanjat.

“Ya, saat kau tinggalkan tenda, aku bersih-bersih. Selembar foto seorang gadis jatuh dari saku jaketmu!” Orlan meringis.

Hatiku berayun-ayun. Rahasia terbesarku terbongkar. Selama empat tahun, tak ada yang mengetahui konspirasi ini, kecuali aku dan Dono.

“Wah, aku ketinggalan beritaaaa!” cibir Murni.              

“Ah, sudah sudah! Berhenti bergosip!” Kucoba alihkan pembicaraan, “Jadi, bagaimana menurutmu, karyaku ini, Lan?”

“Hee, kau berkelit .…” Murni meledek, lalu ia coba sambung kembali “Tapi, lelaki pendaki gunung itu setia!”

Aku manggut-manggut. Tapi membahas rahasia ini, perasaanku berayun-ayun seirama dangdut.

“Aku punya banyak teman pendaki. Nyatanya seperti itu mereka. Beruntung benar si Eria itu. Beruntung!” ceramah Murni bernada aksiomatis. Ia geleng-gelengkan kepala sambil membenahi kerudung merah muda yang membelit lehernya.

Aku menunduk, mendengus pelan, lalu tersenyum getir. Kenyataannya tak semanis itu, kawan.

“Besok siang. Sepulang sekolah, kuberikan foto ini padanya.” Sebelum terlontar kata-kata lagi dari ujung lidahnya, kusudahi ronyehan Murni.

Lihat selengkapnya