Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #21

Stevens-Johnson

Dua bulan Orlan menghilang. Tiba-tiba saja, kabarnya ia dirawat inap di rumah sakit Surabaya. Sejak terakhir kali pamitan, ia tak pernah beri kabar. Aku langsung bergegas ke ibu kota provinsi Jawa Timur itu.

Dalam ruangan karantina rumah sakit, aku tersentak, “Orlan?!” Sama sekali tak percaya! Di atas kasur tipis berlapis perlak, ia tergeletak, tak berdaya. Seluruh rambut dan alisnya berguguran, tak tersisa. Kulitnya terbungkus ruam, lesi, dan sebagiannya seakan berlapis plastik. Tubuhnya susut tirus. Hingga begitu jelas lekukan tulang pipinya dan lengkung ruas-ruas rusuk di dadanya itu. Dan, sinar mata yang dahulu istimewa itu, kini buram, menguning, dan rembah setiap kali tersembur cahaya yang menyelinap dari jendela ruangan kecil yang serba putih ini.

Lutut, jemari, dan seluruh persendianku meluruh. Jantungku berdegup kencang. Tak sanggup aku melihatnya begitu menderita. Kuseret sebuah kursi lipat tepat di samping lelaki baya yang mendulanginya sesendok demi sesendok. Aku duduk, tertunduk, memandangi dada kering yang kembang kempis itu.

“I ... in … I ... in ….” Bibirnya kering, retak, dan di sela-selanya trombosit yang mengering.

Orlan memaksa tubuhnya bangkit. Hanya untuk menyambutku. Namun, tiba-tiba kulit arinya pecah. Darah meleleh di setiap retakan sekujur tubuhnya. Lelaki berkacamata persegi itu menahannya untuk tidak bangkit.

“Sudah ... jangan bergerak lagi …,” lirihnya sambil melap darahnya pelan-pelan dengan tissue.

Orlan berbaring kembali. Aku tertunduk pilu.

“Sudah berapa kali pindah rumah sakit. Tak satupun dokter tahu jelas penyebabnya. Hingga seorang dokter RS. Moestopo mengenali gejalanya. Ini Stevens Johnson Syndrome ...,” kata lelaki yang merawatnya itu.

Kulihat jelas sinar yang menerobos jendela terpantul, memoles kacamata tebal yang berkilat.

“Jangan khawatir. Ini tak menular ...,” imbuhnya meyakinkanku agar tak ragu menjenguknya.

Beliaulah ayah Orlan. Bukan pertama kalinya kulihat. Jika bertandang ke rumahnya, sering kulihat, beliau meracik ramuan herbal pesanan tetangganya. Orlan yang mendesain kemasan kotak ramuannya itu. Jika saja beliau tak ada di sini, aku tak akan mengenali, kalau lelaki yang berbaring ini sahabat baikku, Orlan. Sindrom itu telah menguliti sebagian jaringan epidermisnya.

“Jika anakku pernah berbuat salah, maafkan, nak ….” Sorot matanya sendu.

“Tidak, Pak. Orlan tak punya salah apapun. Bagiku, dia saudara. Dialah yang selalu membantuku, semampunya, kapanpun ia bisa ….” Kuletakkan telapakku di atas tangannya dengan sangat hati-hati.

Sesosok Ayah yang pendiam itu tersenyum lembut. Entah Orlan telah tertidur, atau sekedar menutup mata karena kepayahan. Tak tahu. Aku tak ingin mengganggunya dengan percakapan-percakapan yang tak perlu.

Ruangan melengang. Di balik tirai di hadapan Orlan, pasien lain. Nafasnya termengah-mengah,. Suara mesin pemompa darahnya mengatup-ngatup, lirih, bertalu-talu. Mengaliri kekosongan di setiap rongga dalam ruangan sepi ini.

Lihat selengkapnya