Dini hari masih beku. Kubuka pesan singkat dari Ayah Orlan di handphone yang berderik tengah malam. Seketika aku menggigil. Lutut dan tanganku gemetar.
Matahari diambang syuruk. Aku segera berangkat ke rumah Orlan. Sesampai beranda, langkahku beringsut memasuki pintu yang menganga. Dalam ruang tamu, kujumpai sesosok Ayah yang kemarin setegar karang, kini runtuh, luluh. Di balik kacamata tebalnya, ia tepekur. Kesedihan membasahi sela kisut pipinya. Tubuh puteranya itu telah kaku, bersedekap di bawah kain jarik.
Akupun mengambil tempat di samping ayahnya. Jantungku berdegup. Matakupun berkaca-kaca. Di benakku, teringat bagaimana Orlan menyeburkan diri ke sungai. Ia korbankan sendiri nyawanya, hanya demi selembar gambar ban untuk memenangkan karya tulisku. Melekat kuat di kepalaku, ketika ia mengurut senyum kala sodorkan buku Bahasa Rusia, jendela mimpiku itu.
“Seharusnya, kudengarkan apa yang ia katakan. Tak kusadari, itu pertanda.” Sosok Ayah itu mengangkat kaca matanya. Ia usap matanya yang berlinang. Lalu, ia benarkan kembali posisi kotak kaca itu.