Nyatanya, kepergian Orlan mengingatkanku, bahwa hidup itu singkat. Peristiwa-peristiwa yang berlangsung selama puluhan tahun, sejak manusia mengoek dalam timangan ibunda hingga batas hidupnya, hanyalah sekerlipan mata belaka. Tanganku bergetar jika kuingat terakhir kali mengangkat tubuh Orlan.
Maka, kali ini aku lebih banyak menyendiri. Merenungi segala sesuatu yang pernah terlintas dan bersinggungan dengan perjalanan hidupku. Ke atap-atap bumi, aku mulai mendaki tanpa kawan. Sejak dahulu, kuyakini, bahwa “makna hidup” itu kutemukan, hanya saat manusia diuji oleh keterbatasan akan kemampuannya ketika berhadapan dengan ganasnya alam. Namun, berkali-kali berhadapan dengan badai, petir, beku, ternyata tak sesederhana itu makna hidup diterjemahkan.
Jiwaku serasa kosong. Apa karena cinta? Sejak ujung nafas hingga udara yang reguk saat ini, belum pernah aku menggandeng tangan wanita. Atau menghembuskan kata sayang tepat di telinganya. Kalaupun merasakan getaran pada seseorang, memang pernah. Kuakui, Eria, memang getaran pertamaku. Bayangannya selalu datang. Ya, dia sering kali datang. Namun, datang dengan menggandeng lelaki lain. Bayangan itu membuncah dalam kepalaku. Menusuk-nusuk ulu hatiku. Aku lelah! Ingin kulupakan semua itu. Melupakan Eria. Melupakan manis senyumnya.
Nilai kuliahku pun terjun bebas. Hampir satu koma. Memang, aku masih selalu duduk terdepan. Namun, laksana mengisi air di sungai deras ke dalam sebuah botol tertutup mampat, itulah kepalaku sekarang. Bebal. Buku-buku nyentrik, ku biarkan rebah saja di pangkuan meja jati reyot yang umurnya sudah sepertiga abad. Penampangnya selembar whiteboard yang mulai rengat. Di atasnya telantar buku Rusia yang telah lusuh dan mulai berdebu.