Empat musim berlalu. Saat ini, depanku adalah pintu putih. Selembar kayu yang menolak kehadiranku di malam dahulu itu. Sebenarnya aku enggan kemari. Tetapi, mimpi semalam mengantarkanku kembali ke sini. Kuangkat tanganku. Kubenturkan tekukkan jemariku dengan permukaan kayu itu tiga kali. Tak lama, seorang nenek membukakan pintu.
“Bisa bertemu Eria, Nek?”
Sang nenek heran melihatku. Memang kami belum pernah bertemu.
“Siapa ini?”
“Temannya SMA dulu.”
Tangan sang nenek terulur. Mempersilahkanku masuk, dan duduk di sofa hitam memanjang. Susunan sofa, meja, dan lantai putih itu mengingatkanku saat pertama kali aku datang kemari, menjenguknya secara tiba-tiba, tanpa pemberitahuan. Dan itu terulang lagi.
Eria datang. Sesaat memeras kening, mencoba mengingat-ingat, sembari matanya menggerayangi seluruh wajahku. Lalu, memuailah kerutan kening itu. Senyum melintas bebas di kedua pipinya.
“Kamu?!” katanya pertama kali. Ia terperangah. Sementara ujung jemarinya mendarat di bibirnya, “Dua tahun menghilang tanpa kabar. Aku pangling!”
Memang sedikit berubah, kubiarkan rambutku memanjang setengah tengkuk.
Eria duduk di tempat yang sama, seperti lima tahun yang lalu. Tak berhadapan langsung, tidak pula duduk di sebelahku. Di susunan sofa membentuk huruf “L”, aku menghadap tembok, Eria menatap jendela.
“Jadi, apa rencanamu setelah lulus kuliah?” tanyanya.
Kubiarkan jeda, sementara waktu mengambang. Pandanganku lurus ke depan, beralih dari pesonanya. Kepalaku sedikit tengadah. Membayangkan hamparan negeri utara, kepercayaan diriku semakin meluap-luap.
“Rusia!” jawabku mantap.
“Ke Rusia?”
Kepalaku sekali terangguk.
“Semoga!” singkatku.
Aku duduk terdiam bersandar sofa. Namun, Eria sebaliknya. Berulang kali ia sibakkan rambutnya ke belakang, hingga jelas rona merah di pipinya. Sementara, bibirnya kadang ia gigit, kadang senyam-senyum sendiri.
“Jadi, kau ke sini lari lagi?”
Aku gelengkan kepala.
“Sepeda motor kuparkir di depan toko, gang depan.”
“Setiap kuliah, naik motor?”
Kuanggukkan kepala.
“Kau?” tanyaku.
Eria melirikku. Bibirnya terbuka, jeda tanpa suara, seakan ragu menjawab.
“Sudah, ada yang ngantar.”