Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #25

Intelek

Di tingkat akhir, para intelek muda mulai pusing. Siang-malam, mereka beradu dengan data, bergulat dengan angka. Para intelek muda duduk meriung di atas buk taman gedung jurusan. Tak henti-hentinya tangan mereka membuka-buka lembaran demi lembaran proposal riset skripsinya. Setelah bosan memandangi kertas itu, mereka saling bertukar pendapat. Dari sini, aku mulai dapat menarik kesimpulan, bahwa sebenarnya aliran riset ternyata terbagi dua.

“Sudah kupakai ARCH, tapi gak signifikan. Terus bagaimana?” Seorang mahasiswi mengadu pada teman-teman lainnya.

“Coba GARCH atau TARCH saja!” cetus mahasiswa berkacamata nan jenius.

Mahasiswa aliran ekonomi utopis sibuk mengeluarkan jurus-jurus ekonometrik andalannya. Segala realita sosial harus dihitung dengan angka. Bilamana perlu, wujud kepuasan, kebahagiaan manusia yang bersifat abstrakpun harus diterjemahkan ke dalam skala numerik. Angka, angka, dan angka. Akhirnya, tiga dekade ini, ilmu ekonomi telah lepas-landas meninggalkan hakikatnya sebagai ilmu sosial. Mereka akan berbicara alat statistik tercanggih dan diksi tingkat tinggi. Tetapi tak menyelami akar-pokok masalah kemelaratan, sebab-sebab tingginya angka kematian. Dan, aku curiga sekali sebenarnya. Pastilah UUD pasal 34 ayat 1: “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”, adalah ulah cetusan ekonom utopis yang duduk di kursi pemerintahan itu, kawan. Mereka gemar memelihara orang-orang marginal itu agar terus ada untuk risetnya.

Aliran ekonomi jalanan - lawannya, beda lagi. Mereka menyelami akar masalah kemelaratan dan mempelajari peristiwa sosial secara empiris. Mereka tahu betul seluk-beluk lapangan, dan perangkat sosial masyarakat yang terbentuk. Sayangnya, kelemahan mereka adalah tukang cerocos. Mereka tak akan ada henti-hentinya bercerita hal-hal membosankan akan hasilnya. Menyedihkan.

“Kau sudah persiapkan risetmu, Kin? Apa temamu?”

Aku minder, gelagapan. Di tanganku, belum ada selembarpun proposal riset yang hendak kuajukan.

“Risetku? Seru! Aku akan jadi pedagang gula di pasar!” jawabku spontan.

“Pedagang paaasaar?” Wajah mereka mengerut, lalu terkekeh-kekeh.

Aku tersenyum puas. Kutarik kitab pemberian Orlan dari dalam tas. Namun, belum sampai membukanya, tiba-tiba seorang mahasiswa sedikit gembul berpotongan gundul berjalan cepat melewati basement gedung. Terpaut sepuluh meter, kakak kelasku itu melambai-lambaikan tangannya ke arahku.

“Ayo, seminar proposalku!” Tangannya melambai, mengajakku masuk. Di depannya telah menganga pintu kaca gedung perkuliahan.

Aku berkemas. Kumasuki gedung jurusan, membuntutinya naik tangga ke lantai tiga. Dalam kelas yang tak besar, bangku tersusun melingkar menghadap LCD. Para mahasiswa duduk berjejal memenuhi ruangan. Hanya tersisa sebuah kursi yang berdiri persis di sebelah Dosen dengan gelar gerbong kereta api. Aku menghampirinya. Kaluge SE., MS., M.Ec.-Dev., Ph.D., demikian tertera di atas cover kuning proposal skripsi di hadapannya. Intelek itu terlihat santai di singgasananya sembari menunggu mas Jefri yang sibuk mempersiapkan presentasinya.

“Pak, tempat ini kosong?”

“Yaaa … silahkan-silahkan!” Logatnya kental Indonesia wilayah timur.

Kuteruskan membaca lembaran-lembaran beraroma tengik itu. Garis-garis paranada terbentang kaku di atas kertas lapuk. Not-notnya bergelombang teratur tanpa meninggalkan rumpang. Seperti aliran Sungai Moskwa yang tak beriak dan tenang. Sekali lagi, aku terhanyut oleh alunan Podmoskovniye Vechera, “Malam di Sekitar Moskow” yang sering kudengar.

“Musisi?” Pak Kaluge ternyata meliriki bukuku.

“Ah ... bukan, Pak. Hanya buku pelajaran bahasa ….” Aku khawatir, beliau lulusan Amerika Serikat. Mungkin alergi jika mendengarkan seteru abadinya, Rusia.

“Rusia ...,” pungkasku.

“Tulisannya yang terbolak-balik itu? Sini, kulihat!”

Kusodorkan bukuku padanya. Dia pasang rimless eyeglasses persegi panjang pada matanya yang minus. Diamatinya lembaran yang telah terbuka dengan serius. Sebuah perbincangan di ruangan sepi ini membuat seluruh mahasiswa menoleh ke arah kami.

“Menarik sekali, pemuda! Aku tertarik bukumu ini! Bahasanya sulit dipelajari, ya?”

“Sulit, Pak. Otodidak.”

“Tapi kalau punya niat dan mau belajar, itu bukan halangan,” imbuhku.

“Apa alasanmu belajar bahasa ini? Apa yang menarik?” Raut mukanya senyum bercampur penasaran.

Akan terlihat childish jika kukatakan Rusia adalah rantai mimpi-mimpiku. Di kelas, berkerumun para intelek. Para akademisi secara bengis bergulat dengan gagasan di atas ring ilmu ini. Mereka memburunya, bertarung dengan kuda-kuda logika. Tak peduli apa yang menjadi mimpimu. Mereka hanya ingin mendengar beberapa kerat argumen yang masuk akal.

“Rusia bukan lagi komunis.”

Para intelek tertawa mendengar jawaban polos itu. Kuperbaiki jawabanku. Aku akan lebih agresif.

“Dari apa yang kubaca, ekonomi dunia kontemporer telah melahirkan empat pilar baru. Ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, mencetuskan ide BRIC. Brazil, Rusia, India, dan China. Gross Domestic Product negara-negara ini tumbuh melesat melebihi rata-rata. Diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan, mereka akan melangkahi barisan G7. Ke empat negara ini, sudah mengantongi empat puluh persen penduduk dunia. Suatu angkatan kerja yang fantastis!” jelasku menggebu-gebu.

Lihat selengkapnya