Dini hari, aku menyelinap ke tempat di mana para pedagang pasar tradisional biasa bersarang. Sempat di tengah perjalanan tadi sepeda motorku yang penuh muatan melambat karena tanjakan, seperti kerbau yang melenguh bermalas-malasan di atas ladang. Tas obrok hitam yang biasa kubuat mencari rumput itu penuh terjejali dengan gula kiloan, seakan menindih batang badan belalang tempur kesayanganku yang pipih dan ringkih. Di atasnya, sebuah lincak kecil terpancang terbalik di atas jok. Papannya berkayu albasia, menjadikannya meja kecil itu ringan, dan ringkas dibawa kemanapun. Sepeda motorku berjalan meliuk-liuk seperti leang-leong. Limbung terkena nafas truk dan bus bengis yang melesat-lesat kencang sepanjang perjalanan ke pasar Batu ini.
“Masih sepi…,” gumamku.
Di dalam area pasar itu hanyalah dua orang paruh baya yang berjaga di balik pintu gerbang yang menganga. Kupacu sepeda motorku mendekat kedua orang itu. Seketika mata mereka terpicing-picing, sinar lampu motorku menyembur-nyembur ke arah mukanya. Ku parkir sepedaku tak jauh dari mereka.
“Pagi betul, Mas?” tanya salah seorang penjaga yang bertopi merah. Tubuhnya bulat hitam dan berkumis jarang.
“Iya, Pak. Ini pertama kalinya coba berdagang.” Kulihat arloji Seiko rakitan Comboran. Waktu masih menunjukkan pukul satu lebih seperempat.
Pasar masih lengang. Suasananya sebelum buka begitu tenang dan cukup tertata rapi. Lincak-lincak masih menumpuk tindih-menindih terselimuti terpal di emperan toko dan trotoar. Tiada suara lain lagi, kecuali dua penjaga bermulut mesum ini. Sejak tadi pembicaraannya tak lebih dari urusan gairah nafsu dan jajan sembarangan.
“Pak, boleh pasang lincak di sini?” kupotong obrolan tak bermutu itu.
“Ya boleh. Pasang saja! Tapi kalau ada pemiliknya, minggir saja, Mas!”
“Pemilik yang mana?”
“Ya yang biasa menempati tanah itu!”
Kutata bungkusan-bungkusan gula kiloan di atas lincakku yang setinggi paha. Hanya sepuluh bungkus gula saja yang dapat tersusun di atasnya. Sedang aku duduk di atas sebuah dingklik kayu bulat.
Tarhim diputar. TOA di atas sebuah surau di seberang pasar bergeletar parau. Bergetar bersama karat-karatnya yang melapisi corongnya. Suaranya bertalu-talu, membangunkan penduduk sekitar dan mengiringi langkah-langkah pengunjung pasar. Pasar mulai ramai, para pedagangpun berdatangan dengan barang-barangnya yang ditenteng-tenteng dengan kedua tangannya, dipanggul dengan punggungnya, dan di pikul-pikul dengan bahunya. Pedagang besar datang dengan mobil pickupnya. Wajah para pedagang bermuka-muka lawas, berkulit hitam, ibu-ibu, atau bapak-bapak bermisai lebat.
“Srek srek srek ....” Seorang bapak-bapak berjalan tersaruk-saruk mengangkat sebuah lincak besar yang terbuat dari bambu.
“Awas awas ... minggir!”
“Bleg!” Meja itu dilemparkan tepat di samping kiriku persis. Handuk putih kumal yang melingkar di leher tengkuknya disapukan ke wajahnya yang berkeringat.
Rahangnya keras, mempertegas bahwa dia adalah seseorang yang biasa bergemul dengan kehidupan yang susah. Dua tumpukan tempe terbelah sekaligus oleh mata goloknya yang berkilat-kilat, menampakkan batang tubuhnya yang sangat tajam. Setajam kata-katanya yang terlontar dari rongga mulutnya setiap kali aku mencoba berbasa-basi layaknya orang desa.
“Njenengan asli mana, Pak?”
“Batu!” jawabnya singkat.
Pedas. Tiada tanda-tanda ramah-tamah pada raut mukanya. Raut selalu bersungut-sungut ketika kuajak berbicara. Hanya ketika pembeli datang padanya saja, muka itu berbalas senyuman. Tapi sepanjang waktu, sebetulnya suasana di antara kami adalah suasana panas.
“Apa proses pembuatan tempe kacang dengan tempe kedelai sama, Pak?”
“Cih, untuk apa lagi kau tanya-tanya lagi? Sejak tadi kau tanya-tanya terus!”
Aku kecewa, niat baikku untuk berkenalan selalu tak bersambut.
“Apa salah, Pak?!”
"Hei!" Dia memanggilku kasar. Dengan golok, pedagang itu sengit menuding persis ke arah dahiku. Golok terhunus tegang, nyaliku kejang-kejang, "Pergi!" perintahnya.
Aku beringsut dua meter ke sisi pedagang di sebelahnya. Kugeser lincak mungilku yang tingginya tak segagah lincak umumnya. Aku duduk, para pedagang terus berdiri sepanjang pagi melayani pembeli. Daganganku terhalang oleh lincak-lincak mereka yang tingginya dua-tiga kali lipat daripada milikku. Sama sekali daganganku tak terlihat jika diamati dari jauh. Praktis, sedikit sekali orang yang meliriknya. Lebih-lebih bungkusan gula sekiloan yang mungkin lebih mahal daripada toko peracangan di kios-kios di dalam sana.
Lincakku mengimpit milik seorang ibu berkerudung. Dia sibuk melilit-lilit plastik-plastik berisikan dawet. Plastik bergoyang seirama dengan lilitan-lilitan karet gelang yang mencekiki lehernya dari bawah hingga ke atas. Dengan cekatan dia menciduk dawet dalam panci dan menuangkannya ke dalam plastik-plastik. Aku tertegun memandangi kedua tangannya yang bergerak cepat itu.
“Bu ...,” sapaku hormat.
Ibu itu hanya melirikku saja yang duduk di sampingnya kirinya persis. Aku mendongak kepadanya yang merengus. Mulut tebal yang belepotan lipstick itu menyeringai kecut.
“Untuk apa kau kemari?!”
“Tidak boleh, Bu?”