Berbulan-bulan kulanjutkan penelitian dengan cara bergantian di delapan penjuru mata angin. Kuperbanyak kenalan pedagang sebagai narasumber. Aku mulai biasa berinteraksi dengan pedagang pasar. Pedagang tua penguasa kios dan lincak. Pedagang muda bersemangat menjajakan barang di jalan-jalan. Kamuflaseku mencakup segala lini, kalangan, dan teritori. Dahulu pedagang gula, dan sekarang, penyaramanku lebih canggih lagi: pedagang serbet. Sepuluh lembar serbet kotak warna-warni berada di tangan. Yang satu berkibar-kibar, kucancang di atas bilah bambu yang kutalikan ke tas punggung seperti samurai Jepang siap perang. Strategi ini cukup untuk menarik perhatian orang. Lumayan, cukup banyak juga pembeli setelah sebulan kulakukan dengan strategi penarik perhatian ini.
Menjadi pedagang serbet ternyata lebih mudah berinteraksi dengan berbagai kalangan pedagang. Hinggap ke sana-kemari, mondar-mandir tak tentu arah. Seperti lalat, aku seringkali mengerubungi gorengan-gorengan yang bau petisnya tajam. Strategi terbaik adalah membeli empat-lima gorengan lengkap dengan kopinya, yang kemudian kubawa ke lincak Wak Lan. dahulu, dari kopi dan gorengan itulah yang dapat meleburkan kami.
“Dagang tanpa modal di pasar seperti ini memang susah ya, Wak Lan.”
Aku mendengus. Kusabet-sabetkan serbetku pada telapak tangan yang lain.
“Lha, ya mesti lho, Mas. Mana ada dagang tanpa modal di sini? Kalau ikut orang bisa.”
“Kalau seumpama pedagang melarat seperti kita ini butuh modal, harus ke mana pinjamnya, Wak?” tanyaku.
“Lho, ya pinjam ke Cak War! Cak War rolasan. Setiap pagi orangnya ke sini. Kenapa, mau pinjam?”
Ini dia!
“Oh ndak, Wak Lan.”
“Tidak usah sungkan, sebentar lagi orangnya kemari. Sampeyan saya kenalkan! Kalau memang mau pinjam orang seperti itu, tidak mungkin langsung bisa. Setidaknya sampeyan harus buka lapak di sini beberapa tahun. Tapi karena sampeyan pedagang keliling, saya jamin sampeyan agar dapat kreditan.”
“Tidak ... tidak, Wak. Hanya ingin tahu,” tolakku.
Bahaya jika bersinggungan dengan bank thihtil ini secara langsung. Masalah pinjam-meminjam rolasan ini membuatku takut untuk berurusan lebih jauh dengan mereka.
Ternyata seperti itu permainannya. Strategi pemasaran bank thithil mengingatkanku pada media sosial Friendster. Seseorang akan di confirm sebagai seorang teman di dalam lingkarannya, jika seseorang itu adalah temannya teman yang telah dikenal. Demikian pula bank ini. Dia mendapatkan akses debitur baru melalui jaringan nasabahnya. Beroperasi dari mouth by mouth, lincak to lincak.
“Jaringan!” Tangan kananku memukul seperti palu pada telapak tangan yang lain. Aku keceplosan.
“Jaringan apa, Mas?”
“Oh ... ndak, Wak,” kelitku, “Itu … sayakan orang baru di sini. Bagaimana Cak War tahu kalau saya benar-benar ingin pinjam?” Penasaranku semakin bertambah. Jika bank mempunyai kriteria-kriteria tersendiri sebelum memberikan pinjaman, bagaimana dengan sekelas bank thithil ini?
“Ah, gampang sekali, Mas! Saya dulu juga tukang kredit di sini. Tapi mindring, bukan uang ... sebetulnya sama saja. Dia pinjami uang, saya pinjamkan barang.” Tangannya meraih gelas kopi, dan mereguknya perlahan.
Tak kusangka, pedagangpun juga bisa menjadi tukang kredit. Jadi, para kreditur bisa dari berbagai kalangan kesimpulanku.