Pemburu Angkasa

Aldrin Ali Hamka
Chapter #30

Perantauan

Jutaan laron meraupi langit. Dengan sayap rapuhnya, mereka berarak, menyerbu ufuk timur kala mentari menebar cahaya. Tak kenal lelah. Jika tak patah sayap, mereka akan terus berjuang mengejar surya. Sekarang, atau bangkit lagi kelak di dua musim berikutnya. Aku, yang terduduk terombang-ambing di atas kapal, menekuri kegigihan mereka yang mencoba menerjangi udara asin Selat Bali.

Kapal bersauh. Bus hinggap dari dek ke dermaga, lewat pos pemeriksaan, lalu melaju kencang. Hutan, pantai, persawahan, desa-desa kecil, hingga sampailah di terminal Ubung yang tak masuk akal. Turun bus, para sopir taksi menyabeti tas, berebut penumpang. “Renon? Sesetan? Denpasar kota?” Kudekap erat tasku. Namun setelah lama aku mengitari terminal, akhirnya sadar, di terminal ini memang tak ada angkot. Tak ada pilihan lain. Yang ku tahu, aku harus mendekati titik pusat Denpasar.

“Masjid!” ucapku pada sopir taksi.

 Masjid Agung Renon berdiri dengan puluhan kaki penopang atapnya. Mirip pendopo, masjid ini hampir tak berdinding. Aku memang beruntung, dari sini tak sulit menemukan tempat kost. Lebih membahagiakan lagi, harga kost cukup ramah di kantong. Baru kumaklumi, kalau daerah ini dekat dengan Universitas Udayana.

Tapi setahun? Dua tahun? Berapa lama aku akan belajar bahasa Rusia di sini? Mustahil ditawar lagi. Sejenak melepas lelah, aku mulai browsing internet: kursus bahasa rusia, ini yang kucari!

Esoknya, kusewa motor rentalan. Aku bergegas, menuju tempat kursusan itu, berharap mendapatkan ilmu lebih. Di By Pass Ngurah Rai, motorku berhenti depan ruko. Memasuki meja resepsionis, aku ditawari beragam paket kursus.

“Kalau langsung level 5?” tawarku percaya diri.

Level 5: conversation class. Yakin, selama tiga tahun belajar secara otodidak, aku telah melampaui pelajaran dasar, cara membaca huruf dan masalah gramatika, ini sudah kulewati. Biar mahal, tak jadi masalah! Yang ku inginkan sekedar belajar berbicara! Namun, wanita yang bertugas itu bergeleng kepala. Tanpa sertifikat level sebelumnya, tak mungkin diterima. Aku kecewa.

Aku masih tak menyerah. Aku browsing berjam-jam, mencari guru kursusan. Kalau bisa ya gratisan. Tak peduli, entah aku menjadi pembantu rumah tangganya atau apalah. Penting adalah bicara, meski hanya beberapa patah kata dalam bahasa Rusia.

Kutemukan lagi seseorang pengajar. Kutelepon, janjian, dan kunanti di luar kelas sampai selesai mengajar kelas malam. Akhirnya, datanglah seorang bapak setengah botak dengan kacamata tebal di wajahnya. Kami bertegur sapa, saling bercerita. Lalu kuutarakan maksudku pada bapak yang ternyata lulusan perguruan tinggi Ukraina itu untuk les privat.

No, pachemu Russkiy Yazik? Tapi, mengapa bahasa Rusia?” tanyanya. Nampaknya ia sedang menguji kesungguhanku belajar.

“Karena, aku harus ke Rusia!”

Pria separuh baya itu tajam menatapku di bawah temaram lampu. Ia lap kacamata. Berat ia hembuskan nafas panjangnya. Lagi-lagi aku kecewa.

“Saya sibuk!” pungkasnya.

“Jadikan saya asisten Bapak,” pintaku.

Lelaki baya itu tetap bergeleng. Bangkit dari kursi lipatnya, lalu pergi meninggalkanku sendiri di beranda kantor.

Berhari-hari keliling Denpasar. Tapi, tak kunjung juga menemukan jawaban berarti. Sekali lagi, aku lebih cermat meneliti di internet. Di Universitas Saraswati, kutemukan sebuah nama guru yang ternyata lulusan Sastra Rusia Unpad. Ida Ayu Pangestu. Bayanganku, pasti ibu-ibu gendut, berambut keriting, dan berlipstik belepotan.

Kutuju Universitas Saraswati. Dari sana, kudapatkan nomor telepon beserta alamatnya. Kuhampiri rumahnya. Terkesima. Ternyata, ia seumuranku. Berkulit gelap, rambut pendek lurus, lengkap dengan sepasang lesung di pipinya. Dua kata, sangat manis!

“Aku guide Rusia sekaligus pengajar. Jadwalku padat, jadi sulit bagi waktu. Apalagi untuk les privat.”

Aku kendur. Sejenak gadis manis itu berpikir. Lalu kembali berujar.

“Begini saja. Kalau mau, coba main ke Nusa Dua. Di sana, hampir sembilan puluh persen turis, orang Rusia.”

Memang bukan jawaban yang kucari. Tapi, lebih dari itu. Ini sebuah solusi! Kini, niat telah tersulut. Semangat telah meledak-ledak. Aku bertambah yakin, sekarang semakin dekat dengan mimpi-mimpiku.

Pagi yang indah. Serpihan pasir putih merayap-rayap bersama jemari ombak sepanjang Pantai Nusa Dua. Laut bergradasi: bening, biru muda, dan terlempar jauhlah warna tua. Di sekeliling, berjajar hotel-hotel mewah bintang lima. Di sinilah high class tourists bagi-bagi rejeki. “Kakaya krasota!” Terlintas percakapan sekelompok pemuda yang melewatiku. Aku tersenyum. Dengan merekalah aku ingin belajar.

****

Lihat selengkapnya