Sekian lama menanti, kesempatan untuk menggapai ilmu di Rusia itu beredar juga. Hari ini, perjuangan dan pengorbanan yang telah kulalui untuk memahami sekelumit bahasa itu, tak boleh sia-sia. Kuikuti tes beasiswa. Berbulan-bulan kunanti pengumuman, hingga akhirnya aku terbang ke Jakarta untuk tes wawancara.
Tak semeriah beasiswa negari-negeri Barat. Tak banyak yang ikut seleksi beasiswa ini. Calon zemlyak, teman setanah airku itu, hanya beberapa puluh orang saja. Tapi, kawan, bukankah sesuatu yang langka itu justru mahal harganya?
Aku, dengan nama awal berhuruf A, pertama kali dipanggil petugas.
“Ali Solikhin!”
Aku bergegas masuk. Dalam ruangan, duduk seorang nenek berambut pirang. Kulitnya putih kemerahan. Tentu bukan orang Asia. Ia mempersilahkanku duduk dalam bahasa Indonesia.
“Profesor Aleksandra,” perkenalannya singkat.
Beliau fasih berbahasa Indonesia, kuduga, ia bersuamikan pribumi.
Tangannya mulai membukai profil yang pernah ku kirimkan dahulu.
“Jadi, lulusan Fakultas Ekonomi Brawijaya?” Tiba-tiba, ia sambung dengan bahasa Rusia “Umeyete gavarit’ pa-russkiy?”.
Jelas, ia mengujiku. Pertanyaan itu, ku balas pula dengan bahasa Rusia pula.
“Kanyeshna! No, nye mnozhka. Tentu! Tapi tak banyak,” jawabku, sembari mendekatkan jempol dan telunjukku.
Tapi, aku percaya diri. Kuceritakan bagaimana perjalananku jungkir-balik mempelajari bahasa ini.
Nenek berambut putih itu melucuti kacamatanya.
“Jadi, semua itu bermula dari buku loak?” Alisnya terangkat.
Jelas, wajah itu menggurat heran, penasaran, dan berbaur dengan sedikit kilatan takjub. Lalu, sembari bibirnya memuai senyum, ia ketukkan ujung pulpen ke meja, “Zdorowa! Great!”
Nampaknya, ia tak tertarik dengan pertanyaan seputar tesis yang kuangkat nanti. Tapi, jauh lebih bermakna, ia sentil visi-misiku sebagai anak negeri.