"Hei Daniel, berhentilah menggerutu dan bantu aku membersihkan kekacauan ini," ucap Ambara. Aku menatap dia seperti seorang musuh. Karena itu kesalahannya, jadi tidak ada urusannya dengan diriku.
"Kenapa harus aku, suruh saja anak-anak tanpa orang tua itu membersihkannya. Itu salah mereka... Tapi ini juga salahmu, membiarkan mereka masuk dengan bebas. Jadi bereskan sendiri," jelasku padanya.
Aku mendengar suara kayu yang dilapisi plastik, berbunyi renyah. Mungkin sekarang Ambara sedang meremas gagang sapu yang berada ditanganya. Aku tidak masalah jika dia marah, Ambara tidak akan bisa membunuhku dengan mudah.
Ambara adalah seorang pria yang telah menghabisi seluruh keluarga bermarga Wibowo. hanya aku yang dibiarkan hidup bahkan sampai sekarang. Tinggal serumah dengannya, dan biaya makan serta pendidikan, semuanya dia tanggung. Aku sempat heran, apakah namaku (Daniel Wibowo) tidak masuk dalam list targetnya?
Atau Ambara menunggu waktu yang tepat untuk membunuhku secara diam-diam. Jika itu terjadi, maka aku harus lebih kuat darinya dan menjaga jarak sedikit.
"Daniel, kau melamun lagi?" Suara dingin dan lembut yang bercampur menjadi satu masuk ke telinga kiri ku.
Bahaya. Aku tidak menyadari jika Ambara akan mendekat. Tanpa sadar sebuah pose pertahanan diri terbentuk secara acak.
Ambara tertegun melihatku, tetapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi tawa brutal. Dimana suara dingin dan lembut tadi? Seperti orang yang berbeda saja.
"Untuk apa kamu membuat pose mirip ultramen yang akan memancarkan sinar penghancur. Itu aneh. Tapi, tetap saja aku tidak bisa menahan tawa ini. Maafkan aku," ucapnya sembari menahan perutnya yang terguncang tawa.
"Diam itu tidak lucu," kataku membentaknya. Wajahku terasa panas. Ini memalukan.