Transportasi yang bisa mengantarkan kami ke tempat yang tertera dalam surat, tanpa terjebak kemacetan adalah mobil apung milik kenalan Ambara. Di sini sudah ada transportasi laut selain kapal dan perahu, agar mempercepat perjalanan yang jarak tempuhnya memerlukan waktu berhari-hari. Dengan menggunakan mobil apung, perjalanan yang panjang bisa disingkat menjadi per jam saja. Sayangnya, jumlah pemilik kendaraan ini terbilang sedikit, hanya orang-orang kelebihan penghasilan yang mampu memilikinya.
Di sepanjang perjalanan, aku sering mendengar suara air yang dibelah body mobil bagian depan. Aku sengaja membuka jendela supaya udara segar masuk kedalam dan bisa mengurangi rasa pahit dilidah. Tapi Ambara selalu menegurku untuk menutup jendelanya. Aku tak sudi menurut. Sampai muncul kejadian tidak terduga. Mobil ini ditabrak oleh pengendara liar, menyebabkan kendaraan berputar beberapa kali dan air laut masuk lewat jendela yang tidak aku tutup.
"Bedebah sialan, kukejar kau!" Suara keras umpatan itu membuat aku dan Ambara terkejut, tetapi yang membuat jantung kami hampir berhenti adalah kecepatan mobil yang digas secara mendadak.
Kecepatan ini membuat rasa tidak nyaman dalam perutku, lidahku juga mulai terasa sangat pahit, dan sebuah sisa-sisa makanan pagi tadi berhamburan keluar. Aku cepat-cepat membuangnya ke laut. Tubuhku terasa lemas. Ambara menarik lenganku, bersamaan dengan kaca yang begitu cepat tertutup.
"Jendalanya abang tutup dulu. Agar mobil bisa melaju lebih cepat dan menyusul, si Bajingan depan kita." Aku bisa lihat wajahnya yang merah padam di kaca dalam mobil. Aku juga berasumsi bahwa kecepatan ini bisa mengalahkan kereta cepat di darat. Sekarang perutku mulai berulah lagi.
Aku berusaha menahannya sebisaku, tapi guncangan pada mobil membuat perutku ingin berulah kembali. Pada saat mobil berbelok tajam, tubuhku membentur lengan Ambara. Di keadaan yang tidak tertahankan, semua usahaku berakhir sia-sia. Terdengar suara menjijikan dari mulutku disertai cairan lengket, lengkap dengan nasi dan lauknya yang sudah tercerna.
Ambara menahan tubuhku yang lemas. Dia menatap ke arah depan dan berkata, "Apa ini sifat aslimu, pria pemarah yang mementingkan emosi dari pada keselamatan penumpangnya. Jika Luna tau, mungkin tidak akan ada kesempatan untukmu mengambil hatinya."
Si pengemudi—kenalan Ambara—menatap ke arah kami. Ekspresinya seperti orang yang merasa sangat bersalah, lalu menangis dan memohon pada Ambara untuk tidak memberitahukan kejadian ini pada Luna. Dia juga berjanji akan menjadi kakak ipar yang baik untuk Ambara dimasa mendatang.