Lantai 30 ...
Seperti dirancang khusus dengan kemewahan. Temboknya menggunakan keramik yang mengkilap. atapnya seperti wallpaper yang bisa diganti sesuai keinginan.
"Apa kamu sudah siap?" Suara Debian membuyarkan lamunanku tentang muka Ambara yang akan terkejut melihat kecanggihan ini.
"Siap?"
Debian menghela nafas ke arahku, "Sepertinya dari tadi aku hanya berbicara dengan angin."
Secara tidak sadar aku mengabaikan Debian disepanjang perjalanan. sekarang kita berhenti berjalan dan berdiri di antara salah satu pintu. aku mencoba bertanya, "kenapa berhenti?"
"Kita sudah sampai Daniel. Tadi aku tanya 'kamu sudah siap?' karena kita sudah sampai." Ada sedikit penekanan di kata terakhir. Meski wajahnya terlihat tidak marah tapi nada bicaranya bersuara lain.
Saat pintu dibuka, seorang wanita dengan kantong mata hitam dan pipi tanpa lemak menyambut kedatangan kami. Dia berjalan mendekatiku dengan kursi roda, lalu menyentuh telapak tangan kananku.
"Aku tau masih ada harapan untuk keberlangsungan umat manusia." ucapnya sambil membolak-balikan telapak tanganku.
Mengapa dengan wanita ini, sikapnya sangat aneh. diperlakukan semacam itu secara tiba-tiba menimbulkan rasa tidak nyaman. karena itulah aku memilih menarik telapak tanganku menjauh dari wanita tersebut. Sambil menyikut Debian yang berada disebelahku.
"Siapa dia?" ujarku dengan selirih mungkin didekat telinga Debian.
Debian menatapku tidak percaya, "apa maksudmu, dia adalah orang yang ingin kamu temui." Sepertinya Debian mengendus bau keraguan dalam diriku. lalu kembali menjelaskan dengan sabar.
Sekarang aku paham setelah mendengar penjelasan dari Debian. Wanita yang duduk dikursi roda adalah Rahayu—bibiku yang mengirim surat. kondisi tubuhnya yang lumpuh dan kurus karena terinfeksi wabah monster. aku merasa sungkan pada Debian, dibayanganku ibu Debian adalah wanita yang awet muda dan bugar. ternyata tidak.
Tangan kurus itu menutup kedua kelopaknya, "Betapa bodohnya wanita ini, seharusnya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. saya Rahayu, adik kandung dari ibumu. Daniel harus panggil saya bibi ya ... " Matanya yang sayu itu ikut terseyum. terlihat tulus dan baik dipermukaan, tapi terasa ada yang tersembunyi dibaliknya.
"Bisakah bibi langsung jelaskan saja. bibi taukan tujuanku ke sini." tidak ingin terlalu basa basi. aku ingin tahu sekarang. semua ketidaktahuanku tentang rahasia keluargaku membuat pikiranku tidak tenang.
"Saya jelaskan, tapi... Bantu saya terlebih dulu. Saya butuh kamu untuk bergabung menjadi anggota pelacak monster."
Aku menatapnya lekat. Pelacak... monster?
Suaranya terlalu tenang untuk seseorang yang ingin bercanda. Berita tentang kekacauan di Teknotara memang sudah sampai ke Tirantara—tempat tinggalku sekarang.