Gadis itu perlahan mulai menjauh.
Tetesan darah mengalir dari kening dan lengannya.
Matanya menatap tajam pada tongkat yang baru saja membuatnya terluka, tepat pada bagian wajah itu.
Wajah yang akan selalu diingatnya, senyum tipis tersirat dalam bibir dengan goresan luka.
“Bahkan, dia bukan manusia!” pekik hatinya.
Air matanya mengalir menghujani pipi yang memang sudah basah sedari tadi.
Bahkan seluruh tubuhnya basah kuyup.
Livia menatap anak tirinya, Belle dengan tatapan tajam dan tangan yang masih memegang erat tongkat yang ujungnya telah di penuhi darah.
Lantai sudah ada jejak darah.
Namun, hatinya masih belum puas. Kekesalannya masih belum sepenuhnya terlampiaskan.
Sejenak ia berpikir, penyiksaan apa lagi yang harus dilakukannya kepada sang anak tiri.
Eleird baru saja pulang dari luar kota setelah perjalanan bisnis yang ia lakukan terselesaikan.
Di pinggir toko, ia samar melihat sosok putrinya.
Eleird membubarkan lamunannya.
Bahwa tidak mungkin, anaknya akan makan di pinggir toko dengan raut wajah ketakutan.
Eleird hendak memacu mobilnya pergi.
Gadis itu berdiri membuang bungkus roti di tempat sampah tak jauh darinya.
Eleird memperhatikan dengan seksama, itu benar putrinya.
Eleird langsung turun dari mobil dan menghampiri Belle.