Alih-alih berpuasa Ramadan menuju harapan surga, rasanya saya justru sedang dihukum oleh Allah. Selama hidup, saya hanya membaca lima buku. Lantas, saya melakukan hal yang mustahil: mengetik ribuan tulisan, menerbitkan hampir seratus buku, menulis Daur hingga 309 + 124 tulisan hari ini di caknun.com, ditambah rutin “Wedang Uwuh”, “Lubuk”, “Bongkah”, ataupun tentatif “Asepi”, “Khazanah”, “Wong2an”. Belum yang lepas-lepas darurat.
Mustahil dalam arti orang menulis berharap untuk dibaca. “Siapa berbuat sezarah kebaikan akan mendapatkan imbalannya, siapa melakukan sedebu kejahatan akan memperoleh balasannya,” kata Allah. Dan, dengan hanya pernah membaca lima buku, saya berharap orang membaca jutaan huruf yang pernah saya ketik? Hidayah Tuhan saja tidak diprimerkan, kok saya berharap manusia meng-iqra`-i tulisan saya.
Allah kasih “juklak-juknis”. “Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” Saya belum pernah menemukan contoh “seburuk-buruk suara” yang dimaksud Tuhan itu selain tulisan-tulisan saya sendiri. “Binasalah kedua tangan Abu Lahab,” dan akulah Abu Lahab itu. Dan, Allahu Akbar, besok pagi orang menyapa, “Hab, mau ke mane elu Hab.”
Aslinya kali ini saya berniat menuliskan hasil halaqah imajiner dengan Nabi Hud, Nabi Soleh, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, serta sejumlah nabi lain pada zaman Allah menurunkan bencana-bencana dahsyat: banjir bah, gempa dahsyat, badai es, atau “pageblug” besar. Kaitannya dengan peta kausalitas sejarah dan nasib NKRI hari ini dan esok. Termasuk 2 tahun kosong “bencana” misterius penguburan peradaban besar-besaran, penyembunyian sejarah hampir total menjelang abad ke-14 di pulau yang kini kita huni dengan “plola-plolo”.
Hati saya memberi judul halaqah itu “Kalau Kekasih Disakiti”. Tulisan itu dibantah oleh pikiran saya. “Orang akan makin tidak paham,” katanya, “nanti disangka judul sinetron India.” Namun, hati saya bersikukuh. Dan, tak ada kompromi di antara mereka. Maka, akhirnya tulisan ini yang saya tik.