Meskipun gagal kuliah dan lulus SMA hanya karena “supaya tidak merepotkan setahun lagi”, sejak kecil saya sangat menikmati pelajaran Islam yang paling mendasar, utama, dan sangat kudus, yakni berhitung. Atau, sekarang disebut Matematika. Hati saya selalu menyebutnya dengan lengkap: matematika nan suci.
Ilmu yang kudus dan suci. 6 X 6 = 36. Selalu konsisten dan istiqamah. 6 X 6 = 36 pada siang ataupun malam, pada musim kemarau ataupun penghujan, dalam keadaan aman ataupun pas ada gempa besar dan gunung meletus. 6 X 6 = 36 ketika sehat ataupun sakit, pas bokek atau punya duit, bahagia atau sengsara, bangun ataupun tidur. 6 X 6 = 36 meskipun ditilang polisi, ditembak tentara, ditimpa Perppu, kena angket atau tidak. Kalau ada penghitungan suara 36 menjadi 72, yang salah adalah manipulatornya, sedangkan 6 X 6 = 36 tidak bisa diubah.
Nanti kalau ada gunung yang berabad-abad dianggap “mati” tiba-tiba batuk mengeluarkan asap, tetap 6 X 6 = 36. Kalau ada delapan belas titik dan area di sepanjang kepulauan Nusantara merangkai jadi satuan kekuatan, 6 X 6 = 36. Mau disuap, dinego, di-wani piro, digayusi atau dinovantoi, tetap saja 6 X 6 = 36. Kiamat akan datang, shughro ataupun kubro, kecil ataupun besar, parsial ataupun total, 3 hari 3 malam atau 40 hari 40 malam atau berapa pun lama transmigrasi dari bumi ke alam barzah, tetap 6 X 6 = 36.
Sungguh 6 X 6 tidak mungkin tidak 36 sepanjang saya hidup. Saya anggota Abu Sittin. Kiai Hasan Gontor kesayangan saya pernah dilaporkan ke polisi karena berceramah di Abu Sittin. Mungkin Abu Sittin disangka koleganya Abu Jibril, Abu Jandal, Abu Sayyaf, atau Abu Ridho. Sittin artinya ‘enam puluhan’. Abu Sittin adalah kumpulan alumnus Gontor yang berusia di atas 60 tahun. Meskipun 2 Mei 1968 saya diusir dari Gontor, Khilafah Al-Ukhuwah Gontor membuat saya tetap diterima di komunitas Abu Sittin.
Allah tidak butuh matematika. Namun, Ia mempermudah manusia dengan perkenan ijtihad dan ilmu, antara lain dengan merumuskan satuan angka ketika 6 X 6 = 36. Sepanjang hidup saya menikmati kepatuhan 6 X 6 = 36. Dua tahun, 1965—1966, saya hanya makan gaplèk alias bugik, tidak nasi, di samping banyak tarekat dan riadat lain yang saya lakukan pada masa kanak-kanak. Ini supaya saya punya bekal mental untuk sampai mati nanti 6 X 6 = 36. Dan, kesimpulan dari perjalanan panjang hidup saya adalah tidak ada kenikmatan melebihi selalu berterima kasih kepada Big Boss-nya 6 X 6 = 36. Saya memuaikan dan memperdalam terus cinta dan setia kepada Big Boss.
Saya pernah coba mem-boss-kan diri saya, mematuhi kemauan saya sendiri, bahkan menyatakan “Allah yang harus berterima kasih kepada saya karena saya mau Ia ciptakan dan Ia jadikan manusia”. Namun, lantas dicegat oleh “min haitsu la yahtasib”, oleh sesuatu yang tidak saya perhitungkan, oleh peristiwa yang saya tidak memperhitungkannya. Bahkan, saya memang tidak mungkin mampu memperhitungkannya. Termasuk urusan 2017 sekarang ini yang sudah banyak ditinggalkan oleh para pemimpin karena mereka sudah memijakkan kaki di 2019, 2025, ataupun 2045.