Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #2

Bab 1 - Aku akan menikah, jika adik bungsuku sudah lulus kuliah

Jatinangor, 10 Februari 2008, selepas asar

SELAMA 22 tahun usiaku sama sekali aku takmemikirkan nasib adik-adikku. Tidak seperti mereka [para kakak] yang memiliki amanah besar: menjaga, melindungi, dan memberi contoh yang baik kepada adik-adik mereka. Terlebih kepada para kakak luar biasa, bertanggung jawab banyak adik dan masih kecil-kecil—butuh biaya pendidikan yang besar; butuh lingkungan yang sehat; sementara keadaan ekonomi keluarga dililit sulit; orang tua lagi sakit-sakitan; butuh biaya perawatan; dan hanya mengandalkan gaji pensiunan takseberapa atau memohon belas kasih orang-orang yang dianggap baik. Atau malangnya, para kakak pilihan itu bernasib membesarkan adik-adik oleh karena telah kehilangan kedua orang tua mereka.

Kakak-kakak teladan itu setiap ada kesempatan akan bertanya seperti ini: Fadhil, sudah makan belum? Di sekolah ada yang jahil tidak? Uang jajan masih cukup tidak? Kalau sudah besar mau jadi apa? Eh, liburan bulan depan mau jalan-jalan ke mana? Hari ini ada masalah tidak? Di kampus sibuk apa saja sekarang? Bagaimana enak tidak kuliah di UNPAD? Atau, kapan engkau lulus kuliah?

Uh! Sepertinya perhatian yang terakhir itu sungguh satu pertanyaan yang ‘menyesakkan hati’ bagi sahabat-sahabat KS 375-ku. Pertanyaan itu bak mesin pembunuh bagi mereka yang dilanda krisis semangat mengerjakan skripsi sialan. Skripsi sungguh satu pekerjaan memuakkan dan mendengar namanya saja sudah seperti mendengar perkataan yang jorok. Ia ada menjadi barang yang dianggap ‘haram’ di dunia ini. Agar menjadi halal, ya harus dinikahi, begitu lelucon mereka. Firman Satyabudhi, sahabat KS 375-ku, malah pernah berkata seperti ini: “Lebih baik disuruh membuat kliping 100 daripada membuat skripsi sebiji!”

Ternyata menjadi seorang kakak adalah amanah kodratiniah. Mau tidak mau sang kakak harus melaksanakannya—karena itu sebuah amanah. Ia menjadi manusia penuh empati lagi bertanggung jawab di bumi ini. Apalagi ia yang lahir sebagai anak sulung. Begitulah yang dirasakan Saif Adam Ghazali, si sulungku. Dengan hati tulus, tanpa sepengetahuanku, ia berjuang dan rela berkorban ini-itu hanya ingin melihatku lebih bahagia darinya dan tanpa menyusahkan orang lain. Apa pun itu Kakak lakukan untukku. Sekali lagi tanpa sepengetahuanku. Sungguh kebahagiaan besar bagiku, juga bagi para adik di bumi ini. Percayalah!

Sementara adik bungsu [seperti aku] tidak pernah memikirkan kakaknya. Justru malah sebaliknya. Ingin terus selalu diperhatikan; disayangi; didoakan; didukung; disemangati; atau diberikan sesuatu jika sang kakak memiliki lebih rezeki. Tetapi di dalam kalbuku selalu terbesit kalimat: “Sang adik harus lebih baik daripada sang kakak.” Selain itu, para guru di sekolah sering menyemangati jiwaku, generasi muda harus lebih baik daripada generasi sebelumnya, menjadi teladan bagi generasi sesudahnya. Entahlah itu hanya asumsiku atau memang teori yang membumbui sekitarku karena aku taktahu realitanya seperti apa.

Aku dilahirkan ke dunia ini sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Jadi, aku takada nasib memberi perhatian, kasih sayang, atau juga berkorban untuk adikku sehingga pikiranku, hatiku, waktuku, cita-citaku, uangku, tenagaku, atau kesibukanku tidak ada yang mengganggunya. Mungkin “hanya satu” yang akan akuluangkan kepada kedua kakak kandungku: berusaha keras menyukseskan perjuangan dan pengorbanan mereka selama ini untukku. Semoga aku lebih baik dan lebih beruntung dari rangkaian nasib keduanya di bumi ini. Wajarlah, jika aku banyak waktu demi meringankan beban mereka. Lebih tepatnya membahagiakan diriku sendiri. Aktualisasikan diri agar hidupku lebih baik dan lebih beruntung dengan caraku sendiri, seperti membaca buku sastra atau buku biografi; menulis kumpulan sajak, lagu cinta, atau skenario film; dan [satu] hobi wajibku: mendaki gunung. Semua itu bebas aku lakukan karena aku tiada memiliki beban moral.

Ya, yang “hanya satu” itu sebenarnya adalah peluangku agar lebih banyak waktu mengabdi diri kepada Sang Abadi, mengikuti jejak utusan-Nya, termasuk berbakti kepada kedua orang tua dan bangsa ini. Kudapatkan persepsi ini seusai pengalaman diriku berdiskusi dengan alam, buku-buku, dan orang-orang setipe.

Masuk kuliah tingkat tiga, Tuhan mengutusku ke puncak gunung tertinggi di Jawa Barat. Gunung dengan ketinggian 3.078 mdpl. (meter di atas permukaan laut) yang berjasa membentuk mentalku. Juga mental dan kepribadian mereka yang turut menemaniku. Tuhan tahu niat suci hatiku; impian jiwaku; dan hasrat patriotismeku; mencoba membuat hidupku lebih baik, beruntung, dan bahagia bertinggal di kayanya salah satu belahan dunia ini: sebuah negeri yang bernama Indonesia. Negeri yang memiliki ribuan julukan dan dibanggakan pemilik dunia.

Aku berziarah jiwa dan raga ke puncak itu ditemani lima sahabat KS 375-ku: si visioner Daniel, si kreatif Awan, si ganteng Firman, si penghibur A Ho, dan si kuat jago Nyonyo. Tiga hari kami puas menikmati juga menghayati pendakian itu. Lantas, setiba di Jatinangor, rohku menggerakkan penaku, dan kutulis sajak ini.

Lihat selengkapnya