MALAM berkumandang di dalam dinginnya. Aku memandang gelapnya penuh keinginan. Ada airmata malam ini. Entah untuk siapa mereka mengalir dari sela sepasang buah mata sipitku. Tetapi anehnya, takbiasanya mereka bekerja tanpa adanya isak. Biasanya pun ada ‘keinginan’ pasti ada ‘isak harap’ dan ‘airmata.’ Ketiga ikatan bunga itu sudah menjadi paket andalan atau juga tiket langganan hatiku berkemauan. Bunga rampai bagi mereka yang ingin memiliki manisnya kehidupan beserta harapannya. Airmata ini setetes demi setetes keluar dari sarangnya di luar kendali otakku. Aku berusaha bisa menahannya, tetapi aroma kenyataan dunia mengebiri kursi kekuasaanku untuk menentukan kebahagiaan hidupku sendiri. Kenyataan memang tidak bisa diajak kompromi. Rupanya sudah seperti kompeni yang pernah menjajah bangsa ini dan yang mewariskan mental korupsi tiada habisnya kepada negeri yang beragama ini, kepada nasibku.
Lupakan soal wacana itu. Mari kita berbicara tentang besok pagi. Esok yang dimiliki para pekerja keras, pemilik janji, pelajar haus ilmu, perempuan yang dirindukan, dan kaum pengamanah hidup yang tidak mau sedikit pun kehilangan waktu memberi kebaikan. Serta pagi yang dimiliki kicauan burung, merekahan bunga, angin sepoi-sepoi, matahari pagi, tangisan anak bayi, teriakan penjual jasa kebutuhan manusia, dan hatiku yang tengah dinasihati malam ini. Ada apa pula dengan hatiku malam ini? Ia seolah takpercaya malam ini aku sanggup tenterami dirinya. Tidak hanya engkau, duhai hati, getaran jiwaku yang takberaturan ini pun akan akudamaikan segera. Otakku, maafkan aku, aku terlalu mengeksploitasi keterbatasan kemampuanmu. Jika kalian ingin tahu, malam ini, sebenarnya aku ingin mengistirahatkan semua organ tubuhku karena besok mereka harus total berdinas. Bekerja keras agar aku lulus dan menjadi orang terhormat: sarjana.
Oh, ternyata ini, mengapa air mataku jatuh takmemberi tahu, atau hatiku yang terus dinasihati malam karena kehilangan ketenteramannya: esok pagi ada ujian. Ya, setiap hidup adalah ujian. Ada ujian untuk kelayakan sang pendapat nikmatnya. Ujianku? Esok pagi adalah sebuah dilema. Rela meninggalkan para sahabat yang begitu antusias mewujudkan mimpiku atau mengikuti kemauan para pencekalku—mereka berjasa menyambung usiaku dan pendidikanku.
Daniel Peter Yosepha, laki-laki berpenampilan baru yang sore tadi datang tiba-tiba, masih betah bertamu di flat kosku. Semenjak kehadirannya, sahabat skripsiku yang kini berkacamata minus, selalu tampil rapi ala eksekutif muda Ibu Kota, dan bersikap kalem, terus memotivasiku sambil membaca buku barunya.
Dia bertanya seputar persiapan sidang sarjanaku besok, kabar skripsi KS 375 yang lain, dan perencanaanku setelah lulus. Sementara itu, di sampingnya, aku lebih banyak bengong, berseliweran pula bayangan fana di alam pikiranku. Sesaat kemudian otakku memvisualisasikan masa indahku ketika masa awal-awal kuliah: kisah petualanganku bersama KS 375 ajaibku, baik itu ketika mendaki gunung maupun sewaktu menggembel ke kota-kota wisata di Indonesia. Kadang menangis dan tertawa bisa bersamaan aku lakukan apabila mengingat semua momen bersejarah itu. Aku sungguh merindukan ketololan mereka.
Lorong waktuku sekejap saja mengajakku mengenang pendakian massal pertamaku bersama beberapa dari mereka, tahun pertama kuliah, ke Gunung Papandayan. Gunung berapi aktif yang menjadi salah satu warisan alam leluhur dan kebanggaan masyarakat Kabupaten Garut. Setelah letusan dahsyatnya pada tahun 2002 silam, beberapa keindahan alam gunung tersebut tampak seperti Jalur Gaza di jazirah Arab. Gersang, berbatu, dan bak terkena ledakan. Sebagian besar tanah menuju puncaknya bernasib kehilangan hijau wajah segar gunung tropis. Namun, bagi kami, itu nilai keindahan tersendiri yang menarik dan langka.
Sahabat, lihatlah! Itu hamparan batu yang beraneka ragam bentuk dan warna, embusan angin yang membawa bau bahan baku sabun, kepulan asap dari jemuran belerang yang berwarna kuning, langit siang yang terbentang luas dan cerah di atas beningnya aliran sungai kecil, dan tebing-tebing bukit yang jarang ditemui di gunung lain—tebing yang masih setia memertahankan sebagian kecil tumbuhan hijau peliharaannya. Untunglah masih ada Tegalalun. Padang eldeweis yang lengkapi kemenawanan Papandayan. Jika berfoto dengan latarnya itu bagai kita berdiri di depan lukisan megah panorama alam sebuah galeri seni berkelas.
Aku bersama 16 pendaki lainnya duduk dengan damai melingkari nyala api unggun. Aku duduk di sebelah kanan Daniel. Ia yang dilahirkan bernasib anugerah—berwajah lancip cerah, berkulit putih, berpostur tubuh tinggi-tegap, berambut hitam dengan model poni sasak ala musikus muda Inggris, dan bergaya pakaian khas anak pecinta alam kebanyakan—itu didaulat ketua rombongan pendakian massal perdana kami. Sekali-kali ia rapikan slayer-nya, bandana hitam berbatik putih susu yang mengikat erat pada kepala berisi dan pemikirnya.
Malam itu, ia gagah sekali dengan kemeja flanel Spider-Man-nya. Baju andalan atau dinas bagi laki-laki Batak-Banten itu jika mendaki gunung atau berpetualangan spektakuler lainnya, yaitu kemeja kotak-kotak lengan panjang yang dominan berwarna merah dan biru tua. Karena itulah aku menamai kemeja penuh sejarah dan saksi atas setiap jalan petualangan hidupnya Spider-Man. Ya, tepatlah aku menamainya. Selain motif flanelnya berwarna merah-biru, Daniel juga penggila berat si Manusia Jaring Laba-Laba itu. Walau aslinya, ia lebih suka si superhero yatim piatu itu berkostum merah-putih. Itu salah satu mimpinya.
Daniel Peter Yosepha bersikap nyaman dan tenang di antara kami yang mulai kedinginan, duduk bersila sambil membungkukkan badan idealnya. Ia yang dikaruniai bertubuh paling tinggi di kelompok berkata kepada semua. Serius.
“Brad (brother), hidup kita ini seperti sebuah pohon. Dia hidup di tanah yang subur, disiram oleh air-air hujan yang teratur sengaja diturunkan dari langit, kemudian tumbuh mendewasa memberikan keteduhan, keasrian, penghijauan, dan juga ekosistem. Namun, ketika sudah menjadi kayu bakar, yah dia bukan lagi dikatakan pohon cemara, pohon jati, pohon mahoni, pohon akasia, pohon damar, pohon jambu, pohon jabon, pohon arbise, atau pohon bambu, tetapi akan menjadi api unggun yang menghangatkan kita malam ini ….”
Begitulah Daniel memberi penghangatan melalui satu wacana analoginya. Lumayanlah untuk mengusir nyamuk, melawan dingin, atau membangunkan diri dari rasa kantuk. Itulah mungkin yang dirasa 15 orang lainnya, saat mendengar perkataan ia yang takbiasanya. Saat kuliah di kelas, ia adalah anak yang pendiam. Tidak pernah ia bertanya kepada dosen mengenai materi kuliah yang kurang jelas; atau ketika ada materi diskusi pun ia sangat jarang untuk aktif berdebat; apalagi untuk mengungkap kata-kata beranalogi menarik yang baru saja ia wangi ungkapkan. Sungguh ada rahasia terpendam di balik sikap pendiamnya itu.
Kami mencoba mengikuti arah obrolan malamnya. Entah penasaran atau memang di sana tidak ada topik lain untuk dibicarakan. Sementara api unggun semakin membara, sangat sayang untuk melewatkan malam yang panjang dan jarang itu jika hanya dinikmati dengan acara tidur. Aku sepakat dengan itu. A Ho, bernama lengkap Setiandi Ho, lebih sepakat lagi. Laki-laki ceking berkacamata John Lennon yang berdarah Mandarin-Sunda itu malah sering meledeki kami. Ia begitu senang ketika sedang asyik menikmati sebuah perjalanan, lalu melihat makhluk di antara kami yang malah tidur atau ketiduran. Dengan muka kocak tengilnya, si Ko A Ho selalu memberi guyonan khas Bandung-nya seperti ini:
“Hmm, jauh-jauh ke sinih … kalau mau tidur mah di rumah sajah! Masa kemping tidur? Bencong sajah mencari napkahnyah tengah malam! Bangun!!”
A Ho adalah tipikal entertainer sejati. Selain memiliki bakat menghibur, ia juga berpotensi menjadi seorang public relation. Septiandi Ho, sahabat mendaki Ciremaiku tiga tahun yang lalu itu pribadi yang supel, asyik, menyenangkan, serta berwawasan luas soal musik dan mural. A Ho, dengan siapa pun hebat manusia ia sangat pandai mengakrabkan dirinya, bahkan dengan orang yang baru dikenal ia gampang sekali dekat. Bisa kubanggakan kalo ia bisa gabung pada manajemen band Mocca, The Changcuters, Bottlesmoker, Angsa & Serigala, dan tim KasKus. Dan dari tangannya sendirilah, seperti Wiku, Danuri, dan Bambang, ia bisa kuliah.