SALAH SATU cita-citaku sewaktu SD adalah bisa mendaki Ciremai. Menurut cerita mereka, teman-teman masa kecilku, jika kita berhasil sampai di puncak gunung kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuningan dan juga Kabupaten Majalengka itu kita menjadi orang tertinggi di Jawa Barat. Jauh lebih tinggi di atas posisi berdiri Bapak Gubernur Jabar dan juga Bapak Bupati Kuningan. Hebat.
Saat akhir SMU, Indiono Wibhowo, alias Wiku, guru mendaki gunungku di kampus, bersama seorang rekan pecinta alam sekolahnya mengalaminya. Ia pun bercerita, untuk mendaki Puncak Para Wali itu bisa memilih tiga jalur pendakian: jalur utama Linggarjati, jalur wisata Palutungan, dan jalur santai Apuy—jalur yang berada di kawasan Majalengka. Tapi trek mendaki yang paling istimewa adalah tentu saja jalur ekstrim Linggarjati. Patualang-petualang sejati, seperti Bung Wiku itu, lebih menyarankan kami mendaki melalui jalur tersebut: Jalur Nasionalis.
Selain sebagai salah satu tempat bersejarah para Wali Sanga dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, jalur Linggarjati juga memiliki trek yang serbaada. Mulai dari yang biasa saja, terjal, ekstrim, tanjakan yang curam, tebing berakar, berkabut, jalanan yang sempit, suasana mistis, disenyalir ada mitos atau takhayul masyarakat setempat, hingga kepada yang sulit di luar pikiran manusia, semua harus dilewati dengan penuh gagah berani. Untuk menjadi orang tertinggi tersebut tidaklah mudah, Bung! Uh, butuh kesiapan 100% lahir batin, karena kita tidak hanya mengandalkan fisik saja untuk melewati pelbagai rintangannya, tapi kita pun mustilah memiliki manajeman perjalanan yang baik, terencana, matang, dan disiplin. Tentunya menjaga kekompakan tim dan pun iman satu sama lain. Aku sungguh merasakan itu, naik gunung bukanlah piknik liburan atau gegayaan.
Sumber air di sana itu terbatas, hanya ada di pos pendakian pertama, Cibunar. Di Cibunar terdapat warung-warung kopi milik penduduk setempat yang juga menyediakan nasi, Indomie rebus, rokok, dan cemilan. Areanya cukup luas, banyak pepohonan besarnya, dan airnya bening sekali, dingin, dan menyegarkan. Beberapa kecamatan di kaki Gunung Ciremai pun memanfaatkan sumber airnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan cara konvensional ataupun modern mereka mengalirkan sumber kehidupan itu ke rumah-rumah penduduk. Dan air bersih alami juga sampai ke kampung halamanku, ke rumah nenekku.
Di Cibunar pun terdapat camping ground yang setiap akhir pekan sering dijadikan tempat kemping oleh para petualang dari mana pun. Kadang mereka hanya meniatkan bermalam saja, menikmati kejernihan airnya, atau mendengar suara tonggeret, tupai, tekukur, dan cangkurileng, sambil menggigit gorengan hangat. Setelah melewati Cibunar, para pendaki sering disarankan oleh pemilik warung agar tidak kekurangan persediaan air, dan diusahakan supaya jangan mendirikan tenda di puncak karena sering terjadi badai. Jika persediaan air telah tercukupi, selanjutnya memersiapkan mental dan fisik demi menapaki pendakian yang disiplin, hemat, jujur, kompak, bersahabat, dan sedetik waktu pun jangan meremehkan alam yang tenang. Ciremai bukan gunung sembarangan.
Pada hari yang hebat itu, Daniel, Awan, Nyonyo, A Ho, Firman, dan aku mendirikan tenda di Pos Kuburan Kuda. Kami melewati jalur Linggarjati. Jam 3 pagi kami berangkat dari Jatinangor dengan menumpang bus antar kota dalam provinsi jurusan Bandung - Cirebon. Tiga jam kami melakukan perjalanan dalam keadaan mata mengantuk. Kemudian setelah tiba di Terminal Hardjamukti kami naik mobil elf jurusan Cikijing (Majalengka) yang melewati kota Kuningan. Kami turun di Cilimus, salah satu kecamatan di Kuningan yang terkenal makanan khasnya, hucap (tahu kecap) Cilimus—kupat tahu berbumbu perpaduan saos kacang sate madura dan gado-gado betawi. Daniel memujinya sebagai kupat tahu terenak di Asia Tenggara, tentu saja dunia. Sekitar 30 menit kami sampai di sana. Berhenti di antara pasar Cilimus yang ramai manusia dengan Masjid Cilimus yang kisah religiusnya pernah diliput TV swasta itu. Setelah menikmati salah satu makanan lezat favoritku ketika kecil, Daniel memboyong kami ke Desa Linggarjati dengan menaiki angkot kecil Cilimus - Linggarjati. Petualangan itu segera dimulai.
Sebulan lalu, tanpa sepengetahuan kami, Daniel pernah menaiki angkot berwarna kuning itu sehingga paling berpengalaman mengajak kami. Dan kami turun di kawasan wisata Linggarjati. Terbangkitlah semangat mendaki kami saat berjalan menuju kantor perizinan pendakian Gunung Ciremai yang dikelola oleh para pemuda pecinta alam setempat. Untuk bisa sampai ke sana, terlebih dahulu kami melewati Gedung Naskah yang bersejarah itu. Terbangkitlah jiwa patriotis kami ketika melewati bangunan heritage tersebut, sebagai tempat perundingan Belanda - Indonesia demi kemerdekaan republik ini, yang kita kenal Perundingan Linggarjati. Karena itulah mereka menyebut jalur Linggarjati: Jalur Nasionalis.
Kadang aku merasa bangga dengan kampung halamanku, yang salah satu daerahnya disebut-sebut di dalam buku Sejarah. Tapi aku sama sekali tidak tahu akan kota kelahiranku sendiri, apalagi menyebutkan satu per satu kekayaannya, para pahlawan nasionalnya, bahkan bupatinya yang lagi menjabat saja aku tidak tahu namanya, juga wajahnya, apalagi mencintainya. Tidak jelas aku ini orang mana. Palembang pun tidak. Begitu pun Jatinangor tidak. Dan untuk pendakian gunung di kampung halamanku sendiri, nyatanya aku di-guide-i orang Bandung keturunan Batak-Banten. Miris! Aku hanya tahu jalan pulang ke rumah nenekku saja, juga ke rumah kedua orang tuaku. Bagaimana aku mencintai kota itu?
Setelah bersosialisasi dengan sahabat alam di pos perizinan pendakian, yang menyambut kami begitu ramah dan santunnya, bahkan saat pamit mereka senang membekali kami seplastik asoy ubi bakar—sejenis ubi rambat yang manis rasanya dan si ubi merah kekuningan itu jadi khas daerah sana—dan tepat jam 9 pagi kami sampailah di Cibunar. Atas instruksi Daniel, di sana, kami melakukan packing ulang dan pembagian tugas. Daniel yang hari itu kami ketahui bulan kemarin baru saja melakukan pendakian ke sana bersama rombongan kakaknya, kami amanatkan sebagai leader, dan memiliki tanggung jawab memanajeman semua kebutuhan tim. Awan menjadi mitra kerjanya. Nyonyo menjadi waterboy, membawa semua kebutuhan air di dalam carriel jadul warisan ayahnya.
Daniel mengingatkan, setelah melewati Cibunar sampai ke puncak para pendaki takkan menemukan kembali sumber air bersih. Oleh sebab itu, tim harus membawa persediaan air yang amat cukup. Barang-barang Nyonyo pun ditaruh sebagian besarnya di carriel Daniel. Kali itu, ketua pendakian membawa dua buah tas, satu carriel 80 liter yang berisi tenda dan perlengkapan pribadinya, dan satu daypack ukuran sedang yang biasa ia pakai untuk kuliah, yang memuat perlengkapan dapur, alat masak, dan bahan makanan. Nyonyo yang memiliki badan paling besar, kekar, dan banyak bicara meminta sendiri sebagai waterboy. Carriel besarnya pun langsung penuh dengan jerigen ukuran kecil dan botol-botol bekas air mineral yang berisikan air mentah. Teorinya adalah ketika mendaki air yang dibawanya pasti berkurang, entah untuk memasak nasi ataupun memasak air minum, dan ketika turun dari puncak otomatis hanya tinggal sisa-sianya saja. Dan carriel-nya pun menjadi enteng. Memang pintar Hercules kami dalam hal ini.
Sebenarnya tidak terlalu banyak divisi dalam mendaki gunung yang kami terapkan. Ketua tim, pembuat api unggun, koki, bartender, pencari kayu bakar, pencuci alat-alat masak, pembuka jalur pendakian, sweeper, dan dokumentasi. Selain dokumentasi, semua divisi itu sudah bisa dilakukan oleh ketua tim dan mitranya. Tugas yang lain hanyalah menjadi the follower yang taat, disiplin, dan baik hati. Oleh sebab itu, Firman dan aku memilih sebagai penggembira saja.
Terakhir, Septiandi Ho, memegang divisi yang paling penting dan penting sekali: dokumentasi. Kami merasa seperti makan nasi tanpa lauk, sayur tanpa garam, salat tanpa zikir, atau dokter tanpa obat, jika pendakian kali itu tidak ada dokumentasi. Alat produk asing yang dapat mengabadikan momen bersejarah kami. A Ho yang minggu itu baru saja membeli kamera LSR Canon second model lama, hasil usaha sampingannya sebagai kru salah satu manajeman band indie di Bandung, itu bertugas sebagai juru foto dan penawar ongkos angkot, elf, bis, dan lain-lain. Sedikit kisah, demi meringankan beban orang tuanya menguliahkannya, sisa waktu kegiatan di kampus ia luangkan untuk mencari part-time job, yang tidak jauh dengan dunia entertain yang dicintainya. Alhasil, setelah beberapa bulan magang ia bisa melunasi tunggakan SPP-nya, dan sisanya bisa membeli kamera dan menambah tabungan ibunya untuk menguliahkan adik lelaki semata wayangnya. Pendakian ke Ciremainya kali itu adalah bonus dari tuhannya.
**
Pada awal kami mengenal Wiku. Jauh sebelum kami ada niat mencapai puncak Ciremai, terlebih dahulu kami dibuat takjub oleh cerita si Skandinavian Wiku dengan pendakian perdananya ke puncak para wali itu. Ia mengisahkan bahwa dirinya bersama mitra mendaki gunungnya semasa SMU melakukan perjalanan suci ke sana dengan bekal seadanya. Karena pada saat itu informasi atau yang berpengalaman mendaki Ciremai masih belum seramai sekarang, yang setiap menit bisa membacanya di internet. Dengan modal berani dan percaya kepada petunjuk kompas, keduanya pun mendaki ketika Indonesia sedang musim hujan.
Di tengah perjalanan, Wiku dan sahabat diguyur hujan yang cukup deras dan memaksa mereka berteduh, karena hari juga sudah mulai gelap. Keduanya pun mendirikan sebuah tenda, namun sebelum tenda itu jadi, mereka disuruh mencari tempat bermalam yang lain oleh seseorang yang entah siapa. Mereka mengikuti petunjuk si kakek-kakek yang hujan-hujanan itu langsung menghilang. Keesokan harinya, Wiku dan sahabatnya dibuat tercengang, tempat awal mereka akan mendirikan tenda rusak parah karena diserang amukan badai semalaman penuh. Mereka berdua terselamatkanlah dari badai. Wiku pun berpetuah pada kami, bahwasanya Ciremai mengingatkannya pada kematian dan Sang Abadi.
Begitu pula yang dirasakan the White Casanova, pada pendakian perdana dirinya ke puncak Ciremai bersama sang kakak Sandriano dan empat temannya, sebulan sebelum memuncak bersama kami. Puncak gunung berkawah panas yang pernah dihebohkan musisi senior Tanah Air, Iwan Fals, yaitu ketika sang legenda bersama rombongannya, pada peringatan 17 Agustus di era tahun 1990-an, membuat sejarah bagi bangsa Indonesia dan anak-cucu mereka yang bangga mengibarkan bendera merah putih terpanjang se-Indonesia di puncak Ciremai. Puncak tertinggi di Bumi Pasundan itu juga memberi pengalaman spiritual yang hebat untuk dirinya dan rombongan kakaknya. Ceritanya pun terdengar mistis.
Dalam pendakian itu mereka diselamatkan oleh sesuatu yang berwujud manusia. Tepatnya seekor anjing yang tiba-tiba saja ada dan menunjukkan jalan, lalu menuntun mereka sampai ke puncak, ketika rombongan tengah mengalami kelelahan, hampir tersesat, dan bosan dengan trek Linggarjati. Entah datang darimana binatang kesayangan Daniel itu. Kalau anjing hutan itu tidak mungkin. Ciri fisiknya menunjukkan bahwa itu anjing kampung. Namun, jarak mereka dari perkampungan sudah sangat jauh. Dengan berpikiran positif mereka mengikuti langkah si anjing yang cukup menghibur tersebut, dan akhirnya mereka pun berhasil sampai di puncak dengan selamat … damai, ramai, lepas, dan puas.
Dengan penuh kelembutan dan bersahabat sekali Daniel memerlakukan makhluk tersebut seperti seorang sahabat saja. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Menyuguhinya air minum, memberinya roti, mengajaknya mengobrol, dan berfoto-foto dengannya di atas puncak terindah yang dimiliki bangsa ini.
Untuk pendakian kali itu, sebenarnya Daniel hanya menemani kakaknya saja yang tiba-tiba ingin mendaki Ciremai. Dengan perasaan takut, was-was, dan ingin menyenangkan sang kakak, Daniel meninggalkan aktivitas LSM-nya yang waktu itu sedang menugaskannya di Bogor, dan menemani Sandriano bersama empat teman kuliahnya yang notabane pendaki newbie. Daniel pun bingung atas perubahan besar orang yang pertama kali mengajaknya bandel itu. Sepulang dari Ciremai sang kakak mendadak jadi lelaki paling bertanggung jawab di keluarga.
Menurut kisah Daniel, Sandriano Ludi Pandiga atau nama senimannya Sandriano Ludwiqan saat itu sedang mau meninggalkan Bandung, yang banyak meninggalkan keburukan baginya, lalu ia pun mencoba mencari peruntungan dan kedamaian hidup di kota Cirebon—tempat kediaman kekasihnya. Ia akan mencoba hidup yang baru di sana, dan akan meninggalkan kota Bandung yang telah membesarkannya, juga meninggalkan kasih kedua orang tuanya yang selalu mengkhawatirkannya. Juga kuliahnya yang tinggal satu semester lagi, beserta semua hobinya: film, fotografi, disain grafis, dan bermotor-motoran.
Dia ingin membuktikan dengan pilihan hidupnya itu bahwasanya dirinya mampu dan bisa membuat keluarganya bangga dan bahagia. Sehingga ia tidak lagi dianggap sebagai anak lelaki yang tidak berguna di keluarga, apalagi dalam kehidupan bermasyarakat, yang selalu menyusahkan orang tua, dan atau tidak tahu balas budi. Di kota barunya itu, setelah turun dari puncak Ciremai, ia akan serius memulai berwirausaha dengan kekasihnya. Menikmati hidup yang baru.