Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #5

Bab 4 - Badai di puncak Ciremai

“ADUH, please, HP Aa’ nggak ada sinyal!” keluh Firman. Ia berkali-kali berusaha menghubungi seseorang. Entah siapa. Kami hanya geleng-geleng saja melihatnya merengut di wajahnya. Logika saja, Sahabat, HP semahal apa pun yang Firman miliki, posisinya saat itu adalah di tengah hutan. Matahari tengah hari saja sama sekali tidak bisa menerobos lebatnya hutan Ciremai. Kutebak, si pendaki modis itu akan mengabari siapa bahwa dirinya tengah menaklukkan puncak para wali.

Daniel yang kami anggap berpengalaman dan paham medan di sepanjang jalur Linggarjati meresponsnya, “Makanya kita harus cepat sampai ke Puncak Para Wali di atas sana! Man, di puncak, kalau baterai dan pulsa lu cukup, lu bisa ngehubungi siapa saja! Sandriano saja kemarin menelepon emak gua!”

“Ah, serius, Endut?!” Kami serempak berseru, terkejut, satu keajaiban, dan juga penasaran. Terbitlah semangat kami ingin sesegeranya di puncak.

Daniel mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengangkat badan tingginya yang menggendong carriel 80 liter di belakang punggung tegapnya, dan daypack padatnya dipasang di depan dada bidangnya. Kami berlima mengikutinya sigap sambil mengangkat carriel masing-masing. Hanya Nyonyo yang masih berupaya keras mengatur nyaman gendongannya. Puluhan liter air di punggungnyalah yang membuatnya demikian. Tapi sebab merasa dirinya paling berumur, terbesar badannya, dan atlet segala bidang—olahraga apa pun di kampus ia ikuti—di antara kami, pekerjaan itu ia pun minta sendiri. Gengsilah ia jika menunjukkan wajah keberatan mengangkat carriel-nya atau mengeluh dengan bebannya.

Perjalanan berlanjut penuh semangat. Seusai menikmati menu sarapan yang seadanya dan memasak makanan berat untuk kami makan siang di depan. Daniel yang memberi komando tersebut karena dipastikan di depan kami tidak akan sempat lagi memasak. Mempertimbangkan stamina, cuaca, juga target mencapai puncak. Kami bertarget sampai di puncak beserta mendirikan tenda harus sebelum gelap. Semakin jauh kami melangkah, semakin tinggi pula jalan yang kami tapaki, dan semakin kewalahan kami mengontrol emosi sendiri. Pelbagai rintangan kecil dan besar kami lewati dengan saling bantu. Setiap orang terpacu saling memotivasi, memberi pegangan tangan, dan melepaskan ego masing-masing. Bahwa sejatinya hidup itu tolong-menolong saling menguatkan.

Jalan bebatuan, tanjakan curam, tanah hitam yang licin, jalur yang rawan longsor, ranting-ranting tajam yang menghalang ke jalan, hingga tebing tinggi yang berakar kami tuntaskan bersama-sama. Cobaan dan ujian lain, dari dalam maupun luar, pun mencoba merusak niat, mood, semangat, pikiran positif, senyum, emosi, ego, dan jiwa kebersamaan kami. Euforia dan kebanggaan kami nanti setelah menginjakkan kaki di puncak seketika itu juga takada dalam pikiran kami. Yang ada hanya bagaimana tidak sakit, tidak menyusahkan orang lain, ingin cepat sampai kembali ke kamar masing-masing, makan di soto A3 atau di warung Mentung di Jatinangor, dan menegaskan hati ‘kapok’ mendaki gunung lagi.

Dengan sikap, semangat melangkah, juga senyum tipis memotivasinya, Daniel yang berjalan paling depan pun mem-push laju berjalan kami. Aku dan Firman yang selalu berduaan, sebisa mungkin mengimbangi derap sepatunya yang berjalan persis di depan kami. A Ho yang berjalan lunglai di belakang kami berkali-kali mengajak kami berdua istirahat. Ia menjadi bisu. Tidak melucu lagi selama perjalanan sebagaimana biasanya. Hal itulah membuat Daniel terpaksa menghentikan langkahnya. Nyonyo sangat memanfaatkan kondisi stamina A Ho pada waktu itu, menikmati istirahat barang sejenak berkali-kali tanpa harus mengucapkan ‘istirahat dulu’ dari mulutnya. Posisinya yang tepat di belakang A Ho menjadi tandem si entertainer sejati yang baik. Kadang memotivasi A Ho layaknya seorang kakak teladan, dan juga sebagai sahabat terbaiknya yang perhatian memberi minum A Ho ketika istirahat—strategi sang Manusia Tanpa Lawan agar mempunyai alasan untuk bisa meminum air pelepas dahaga kapan saja ia mau, tanpa harus diperintah sang ketua pendakian. Jurusnya pun manjur.

Sementara itu, sialnya, Awan sebagai sweeper suka memergoki langsung muslihatnya dan mengingatkannya syarat menggoda. Tahu sendiri bagaimana cara Nyonyo minum ketika kehausan, emm, bagai unta yang lagi berbuka puasa. Awan khawatir ia kalap dan tega mengurangi jatah minum kami yang terencana.

Setelah melewati rasa lelah yang tiada bandingannya, disiplin meminum air, lapar ingin melahap rakus makanan enak di dunia ini, mengantuk kelas berat, dan pikiran negatif yang membunuh akal sehat, kami berenam sampai juga di pos yang dinantikan, Pos Batu Linggar. Benar kata Daniel, di sana sungguh sangat berbeda. Matahari bisa kami lihat benderangnya. Itu tandanya puncak sebentar lagi tercapai. Kami baru saja seperti keluar dari gua Belanda. Panjang dan gelap. Perasaan kami lain. Hawa dinginnya benar-benar asing. Ada semacam dorongan misterius yang kuasai pikir di antara kami untuk segera memuncak. Tidak usah berlama-lama berdiam di sana. Hanya A Ho yang terlihat penasaran. Ingin lebih lama, masih betah di pos yang ada lapangannya itu, foto-foto, dan ke situ…

**

“Kalau kita belok ke situ, nggak jauh dari sini, kita bisa melihat batu tempat para wali bermusyawarah. Konon katanya batu yang berbentuk seperti satu set kursi tamu itu posisinya di sini, makanya pos ini dinamakan Pos Batu Linggar, tapi entah sejarahnya bagaimana batu tersebut bergeser posisinya ke sebelah sana. Ayo kita langsung jalan saja…” ujar Daniel yang bak seorang pemandu wisata alam saja. Kami pun menurut. Cuma A Ho yang benar-benar ingin mengetahui semua yang ada di sana. Timbullah konflik, Daniel tiba-tiba emosi padanya.

“Mumpung kita ada di sini, Endut!” bela A Ho tenang, masih terikat rasa kepenasarannya. “Biar kita bisa langsung lihat batunyah, guah juga mau fot—”

“HO!” tegur Daniel membentak.

Lalu wajah seriusnya mengarah pada kami semua. “Brad, tolong hargai manajeman kita, tolong hormati alam ini, sebentar lagi hujan! Ayo siapkan jas hujan atau ponco kalian! Kita harus segera sampai puncak sebelum jam 5. Kalau sudah berdiri di puncak, terserah kalian mau pergi ke mana atau mencari apa pun … Sori, Ho, gua bukan mau sok di sini, tapi beginilah konsekuensinya!”

Semua menurut apa yang diinstruksikan Daniel. Semua percaya padanya yang telah melewati pelbagai rintangan di sana, 30 hari yang lalu. Tiba-tiba A Ho mengujinya kembali. Aku sendiri takbisa memberi solusi apa-apa untuknya.

Brad, maap, sekali lagi maap, guah nggak bawa ponco euy, punten!”

Tidak hanya Daniel yang membuang napas kesal karena masih ada salah seorang tim kelupaan melengkapi kebutuhan pribadi—yang sebelumnya resmi diberikan list-nya dan juga diingatkan lebih dari dua-tiga kali ketika packing, jangan lupa menyediakan jas hujan atau ponco—kami pun dibuatnya jengkel, bingung mau membantunya juga karena masing-masing hanya membawa satu. Timbullah rasa iba. Terlebih Nyonyo yang menjadi mitra istirahatnya. Perbuatan A Ho yang sering mengolok-oloknya dan menjadikannya korban lawakannya tidak menjadi alasan kuat untuknya balas dendam. Tertawa puas di hadapannya yang sedang mengalami masalah sulit. Siap untuk diguyur hujan lebat, yang jauh dari halte bus atau atap sebuah toko, tanpa menggunakan pelindung badan yang aman. Daniel mematung sejenak, seolah sedang berpikir, lalu taktis bersolusi.

Aku, Firman, dan Nyonyo tidak bisa berbuat apa-apa. Berdoa pun tidak kepikiran. Namun, di luar prediksi kami, Mr. Prepare for the Best memberi solusi yang cepat kepada kami. Dibukanya rain cover carriel 80 liternya, dikeluarkanlah sebuah jas hujan hitam berbahan biasa yang masih dibungkus plastik toko, dan langsung diserahkan kepada A Ho tanpa basa-basi. Kami berlima pun tersenyum salut, bangga, dan penuh pujian padanya. Setiap mendaki gunung, ia selalu begitu, membawa lebih dari satu perlengkapan mendaki yang sering kali lupa dibawa temannya atau memang mereka belum sempat memilikinya.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Semakin menanjak saja treknya. Hampir kami tidak menemui jalan yang landai atau kami menyebutnya bonus. Kami beruntunan melewati lahan yang seperti sehabis terbakar. Memperlihatkan hijau lebat dedaunannya gosong menghitam berabu. Jarum-jarum basah pemberian dari langit mengguyur pelan-pelan badan berjas hujan dan berponco kami. Dian Putra Setiahatta, Awan, bertugas paling depan pada waktu itu. Berganti posisi dengan Daniel. A Ho berjalan di belakangnya. Kulihat ia yang paling bersemangat, kadang langkahnya hampir mendahului derap konsisten Awan sebagai leader. Sedangkan aku dan Firman berjalan di depan Daniel. Sesekali juga mendorong badan si Giant Nyonyo yang sering tiba-tiba berhenti dan keluhkan banyak hal—kakinya keram, pinggangnya keseleo, kepalanya pusing, atau matanya kelilipan.

Selanjutnya Nyonyo berjalan tidak seperti orang normal. Apalagi ketika air di dalam carriel-nya terasa seolah berkilo-kilo batu sungai. Sebentar-sebentar ia istirahat, berdiri di tengah jalan dan mengatur napasnya, tapi sekata pun tidak mengeluarkan suara. Sehingga dari arah belakang Daniel terus berteriak mem-push-nya. Tapi bagi Firman dan aku itu adalah anugerah. Karena bisa mencuri istirahat ketika Nyonyo berbuat seperti itu. Nyonyo kujadikan pahlawan saat itu.

Kang Deden, sebentar lagi kita sampai di pos pendakian terakhir! Ayo di puncak sudah ada McD, Cineplex 21, Starbucks, Fizza Hut, Hoka Hoka Bento, Indomaret, R.M. Padang Doa Mande!” Daniel tiada henti menyemangati Nyonyo yang berjalannya seperti adegan film slow-motion. Pelan dan patah-patah.

Dan, Sahabat, pos terakhir yang disebut-sebut Daniel dapat kami temui juga. Ajaib! Setiba kami di Pos Pengasinan itu langit mendadak cerah. Jas hujan dan ponco langsung saja kami tanggalkan. Semilir angin dari arah puncak pun menyegarkan badan lusuh kami. Di sana, biasanya para pendaki menjadikannya tempat menge-camp sekaligus menaruh barang-barang mereka. Setelah itu, barulah mereka mendaki sekitar dua jaman ke puncak dengan tanpa membawa beban sama sekali. Hanya badan, jaket, kupluk, tas kecil, air minum, cemilan, dan HP jika diperlukan. Dan, selepas menikmati indahnya panorama di Puncak Para Wali itu mereka kembali lagi ke Pos Pengasinan. Secara fungsi, Pos Pengasinan sama halnya seperti Pos Kalimati atau Pos Arcapada ketika akan menaklukkan puncak tertinggi di Pulau Jawa: Mahameru. Bapak pemilik warung di Cibunar juga menyarankan kami menge-camp di sana, dan mewanti-wanti para pendaki untuk tidak mendirikan tenda di puncak. Itu berbahaya. Selain datarannya sempit dan curam, juga suka rawan badai—yang tiada terduga takmelihat musim apa.

“Ini untuk menambah glukosa dalam tubuh yang tadi banyak terbuang!” Daniel dengan bersahajanya menawarkan kami meses Ceres dalam sebuah botol plastik kecil minuman sari buah. Secara bergiliran kami menikmatinya. Lalu secara teratur dan bergiliran pula kami meminum air yang dibagikannya.

Untuk memenuhi kebutuhan air di dalam tubuh kami, Daniel dengan baik mengatur pola minum kami. Dan demi mengatur persediaan air ia pun sangat disiplin. Ketika minum, kami harus menggunakan sistem seloki. Yaitu sebuah gelas yang terbuat dari bagian atas botol plastik Aqua yang dipotong. Selama pendakian itu kami menggunakannya sebagai tempat minum kami dengan cara komunal. Sistem itu pun berhasil. Kami tiada kekurangan air untuk hal apa saja.

Waktu magrib atau dunia akan beranjak gelap memang masih lama, sehingga kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak, menikmati sunset di atas sana. Tanpa harus mendirikan tenda dahulu di Pos Pengasinan. Karena kesempatan kami menikmati sunset di puncak Ciremai hanya pada waktu itu saja. Besok setelah sarapan, bersantai-santai, atau merenungkan sesuatu, sesuai agenda, kami harus segera pulang ke Jatinangor. Karena liburan semester kali itu kami berenam banyak memeroleh amanah dari kampus, khususnya dari Himpunan, menyambut mahasiswa baru, dan juga membantu program teman KS 375 yang beramanah di organisasi luar jurusan. Seperti membantu Halim dengan acara open house DKM-nya, yang di mana Zaqi dipercaya sebagai MC-nya, aku menjadi sutradara teater Islami yang butuh banyak persiapan, Rasyid dan Wiku bermusikalisasi puisi, dan Awan menjadi sub bagian logistik. Memang pada awal tahun ketiga itu hampir sebagian besar kami sedang asyik sibuk-sibuknya dengan organisasi masing-masing, tapi tanpa hujan tanpa angin pun kami selalu bisa untuk saling membantu, mendukung, bahkan merasakan kepusingannya.

**

Daniel awalnya menolak saran Nyonyo yang membawa carriel ke puncak. Ia masih mempertahankan perencanaan awal, mendirikan tenda di Pengasinan dan ke puncak tanpa membawa barang. Selain menghemat tenaga, juga menghemat waktu. Tapi dengan serius Nyonyo meyakinkan kami bahwa ia memiliki feeling yang kuat, agar kami ke puncak tapi tetap membawa carriel masing-masing. Alasannya, yang membuat kami menurutinya adalah ia khawatir ketika kami belum sampai di puncak, kami malah diserang badai dan mengharuskan kami mencari perlindungan, atau lebih parah lagi jika badai itu terjadi di puncak—kami melakukan perlindungan di mana, yang sementara tenda dan barang-barang kami jauh di bawah sana, di pos terakhir itu. Kami pun mengikutinya, meskipun awalnya ragu, tapi lama-kelamaan dijalani juga. Dan Firman sempat menyeletuk, “Kita ikuti saja, gua curiga si Nyonyo ini jelmaan kakek-kakek yang mengingatkan Wiku sama si Thoni di sini, yang nyuruh pindah bikin tenda, dan akhirnya mereka berdua selamat dari amukan badai semalaman.” Aku hanya mengangguk iya saja.

Lihat selengkapnya